05 Juni 2009

Kota Malang, Jangan Dirusak Demi “Pertumbuhan Ekonomi”

Lagi-lagi berita “pembangunan” dari kota Malang – kota terbesar kedua di Jawa Timur setelah Surabaya – sungguh memiriskan hati. Seperti dirilis beberapa media cetak nasional di akhir Mei 2009 lalu, Walikota Malang Peni Suparto mengungkapkan bahwa dalam waktu dekat Malang akan memiliki pusat perbelanjaan (mal) senilai Rp. 500 miliar, yang akan digarap investor lokal.

Tentu, kebanggaan Pak Peni – yang pernah menjadi anggota DPR RI ini – beralasan, karena (setidaknya) dengan adanya investor yang mau menanamkan modal ratusan miliar rupiah, berarti Malang masih menjadi tujuan investasi yang potensial. Apalagi pembangunan mal ini juga mempunyai tujuan mulia, yaitu sebagai (salah satu) sarana untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi daerah.

Meski, di sisih lain, bisa jadi Pak Peni juga sudah menyadari bahwa dengan menambah bangunan mal di kota Malang, sama saja dengan mengganggu tata ruang wilayah. Bagaimana tidak, pembangunan mal itu akan menggusur Kantor Pos Besar di kawasan alun-alun kota. Setidaknya, kalau memang proyek harus jalan, Peraturan Daerah No. 7/2001 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Malang harus dirubah terlebih dahulu. Artinya, pemerintah mestinya tidak bisa menerbitkan izin pembangunan mal tersebut, apalagi kantor pos (dan alun-alun) jelas-jelas bukan peruntukan perdagangan.

Seperti juga para pengamat lingkungan di kota Malang, aku sendiri pesimis kalau pemerintah kota Malang akan mengikuti posedur – dengan merevisi terlebih dahulu peraturan yang ada – untuk bisa merealisasikan proyek mal ratusan miliar tersebut. Pengalaman-pengalaman sebelumnya, pemkot kerap menerjang berbagai ketentuan dan aturan yang ada.

Bukti konkritnya, ketika Pemerintah Daerah menerbitkan izin pembangunan Malang Town Square (Matos) di Jalan Veteran, yang secara fungsi jelas-jelas kawasan tersebut adalah untuk pendidikan (tersebar beberapa perguruan tinggi dan sekolah menengah), lahan resapan dan ruang terbuka hijau (RTH) serta olahraga, toh bisa disulap menjadi kawasan niaga. Belum lagi ratusan ruko yang menjamur di seluruh kawasan kota Malang, yang jangan-jangan awalnya (lahan itu) adalah daerah untuk lahan resapan atau ruang terbuka hijau.

Bisa jadi, dengan pembangunan yang membabi buta – demi menggenjot pertumbuhan ekonomi, katanya – adalah penyebab kota Malang tidak lagi sejuk, nyaman dan asri seperti beberapa tahun silam (setidaknya saat aku meninggalkan Malang 22 tahun yang lalu). Pembangunan (memang) harus dilakukan, tetapi harus lebih santun dan tidak merusak lingkungan!

AddThis Feed Button