Surat Pembaca di harian Kompas edisi Jumat (16/7/2010) yang berisi trauma atas Pasukan Pengamanan Presiden yang begitu arogan – ditulis Hendra NS, warga Cibubur – dampaknya sungguh luar biasa. Seperti efek domino, semua kalangan “tiba-tiba” tersentak dan memunculkan keberanian untuk mengeluarkan uneg-uneg (atau kejengkelan?) yang disebabkan oleh iring-iringan rombongan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Bisa jadi termasuk saya yang dibuat kesal, karena saya sering “menjalani” route Cileungsi – Jakarta ini.
Bagaimana tidak, setiap Pak SBY berangkat (atau pulang) dari Cikeas ke Istana, sudah dapat dipastikan akan memunculkan kemacetan luar biasa di sepanjang jalur yang lumayan jauh itu, termasuk di jalan tol. Padahal, seperti janji Pak SBY di awal terpilih sebagai presiden, Beliau memilih (akan) bertempat tinggal di istana. Nyatanya, sekarang hampir setiap hari pulang pergi Cikeas – Istana, sebuah jarak tempuh yang lumayan jauh – dan menghadirkan kemacetan yang luar biasa – karena memang Cikeas terletak di luar Jakarta (arah Cileungsi/Mekar Sari/Jonggol kabupaten Bogor).
Kritikan dan saran dari berbagai kalangan – mulai dari tukang parkir, pekerja kantoran, pelajar, selebritis, sampai anggota DPR – santer dilontarkan di berbagai media. Intinya, agar Pak SBY mengurangi frekuensi perjalanan Cikeas – Istana, ataupun sekalian tinggal di Istana saja, seperti presiden-presiden sebelumnya. Sebagai gambaran, Presiden Gus Dur (alm) yang bertempat tinggal di Ciganjur yang notabene jauh dari Istana, lebih memilih tinggal di Istana karena pertimbangan akan “menyusahkan” masyarakat pengguna jalan kalau mondar-mandir Ciganjur – Istana. Berbeda juga dengan Presiden Soeharto (alm) yang tinggal di Cendana, Presiden Habibie di Patra Kuningan, atau Presiden Megawati di Jalan Teuku Umar, yang semuanya memang dekat dengan Istana.
Satu usulan yang nampaknya cukup logis – dan bisa menjadi win-win solution – jika Pak SBY memang enggan tinggal di Istana setiap hari, adalah menggunakan helikopter kepresidenan untuk trasportasi Pak SBY route Cikeas – Istana. Selain lebih cepat, juga tidak menambah kemacetan lalulintas akibat iring-iringan panjang pengawal Presiden.
Sebagai gambaran, ‘prosedur pengawalan presiden di jalan raya’ tidaklah semudah yang dibayangkan. Seperti yang ditulis di Koran Tempo, ada dua kodisi lalu lintas: padat (ramai) dan landai (sepi/lancar). Kondisi padat dan landai ditentukan setelah koordinasi komnadan Satuan Patroli Pengawalan (Patwal) dengan petugas piket lalu lintas di Kepolisian Daerah.
Prosedur Saat Lalu Lintas Padat (saat sepi akan berbeda) adalah sebagai berikut:
Dua jam sebelum berangkat, Komandan Pengawal membertahu Polda. Kodenya, “Krisna parkir” (presiden mau berangkat).
Polda memberitahu semua petugas di lapangan – sampai tingkat Kepolisian Sektor (Polsek) – agar bersiap.
Satu jam sebelum berangkat, Patwal memberitahu Polda, dan diteruskan ke petugas lapangan agar bersiap. Ini disebut persiapan pertama.
Setengah jam sebelum berangkat, Patwal memberitahu lagi ke Polda, dan diteruskan ke petugas. Ini disebut persiapan terakhir.
Nol menit sebelum berangkat, petugas lapangan diberitahu “Start”. Artinya, rombongan presiden mulai bergerak dan semua jalan yang dilalui sudah harus kosong.
***
sumber foto: kaskus.us