30 Desember 2010

Resep Pak Harto: Keluarga Harmonis itu, "Ojo Dumeh...”

Hari Ibu, di Indonesia diperingati setiap tanggal 22 Desember, memang sudah berlalu 10 hari silam. Tetapi, kalau mau memaknai “hari Ibu” lebih dalam, penghormatan kepada seorang Ibu mestinya bukan hanya “sebatas” sehari di tanggal keramat tersebut. Lebih dari itu, seorang Ibu berhak mendapatkan penghargaan dan pengormatan tertinggi, yang dilakukan sepanjang hayat kita.

Masih berkaitan dengan hari Ibu, sebuah tulisan yang dimuat harian Kompas (21/12/2010) dengan judul Sisi Lain Istana : “Ojo Dumeh” Anak Presiden… sungguh menarik untuk disimak. Pandangan-pandangan Pak Harto – panggilan mantan Presiden Indonesia, Soeharto – mengenai peran seorang ibu (baca: Ibu Tien, istri beliau) dalam keluarganya, disampaikan dengan cukup humanis.

Terlepas munculnya pro dan kontra terhadap kehidupan mantan presiden Soeharto semasa memerintah republik ini, apa yang disampaikan Pak Harto dalam satu kesempatan memperingati Hari Ibu 15 tahun silam ini cukuplah bisa memberi gambaran bahwa seorang presiden-pun juga mempunyai kehidupan yang menempatkan seorang “ibu” dalam proporsi yang tepat. Berikut petikan lengkap tulisan tersebut:
--------------------------

Peringatan Hari Ibu ke-67 diadakan di lapangan rumput Kecamatan Mojosari, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur. Kala itu, Presiden Soeharto yang didampingi Nyonya Tien Soeharto mengadakan dialog dengan ibu-ibu setelah menyampaikan pidato resminya.

Seorang ibu bertanya kepada Presiden, ”Apa resep Pak Harto untuk membangun keluarga yang harmonis?” Dengan senyum mengembang pada pagi yang panas di bawah terik matahari saat itu, Pak Harto antara lain mengatakan, ”Saya selalu menasihati anak-anak saya agar tidak menempatkan diri mereka sebagai anak-anak presiden karena jabatan presiden itu hanya lima tahun.”

”Setelah lima tahun, kalian anaknya Pak Harto dan Bu Harto, bukan anak presiden lagi,” lanjut Presiden Soeharto yang disambut dengan tepuk tangan hadirin saat itu.

Kutipan kata-kata Presiden Soeharto selanjutnya seperti ini, ”Oleh karena itulah, sampai sekarang ini alhamdulillah mereka bisa menempatkan diri mereka sehingga tidak ada yang kelihatannya mengagung-agungkan diri mereka dumeh (mentang-mentang) anak presiden.” Sekali lagi, itu kata Presiden Soeharto enam belas tahun lalu.

Saat itu Pak Harto juga menyampaikan bantahan mengenai berbagai tuduhan yang berkembang di masyarakat kepada dirinya. Salah satu tuduhan itu menyebutkan, tempat tinggalnya di Jalan Cendana, Menteng, Jakarta, adalah markas besar untuk menentukan besarnya komisi dari proyek-proyek besar pembangunan di Indonesia.

Menurut Pak Harto, tuduhan itu paling banyak muncul saat akan dibangun Taman Mini Indonesia Indah (TMII) tahun 1975. ”Maka, pada waktu membangun Taman Mini, Ibu Soeharto bukan disebut Tien Soeharto, tetapi ’tien procent’, maksudnya setiap proyek itu ditarik komisi ten percent atau sepuluh persen,” kata Soeharto.

Soeharto saat itu juga mengatakan, di rumah dirinya selalu menempatkan diri sebagai orang biasa, bukan sebagai presiden. ”Saya di rumah di antara istri dan anak-anak merasa sebagai orang biasa, hanya secara kebetulan diberi kepercayaan rakyat untuk memimpin negara ini sebagai presiden. Kebetulan saya dipilih enam kali, lima tahun, lima tahun, setelah itu berhenti...,” ujarnya.

Dalam nasihatnya yang panjang lebar, Soeharto juga mengatakan agar manusia itu aja kagetan, aja gumunan, aja dumeh (jangan mudah terkejut, jangan mudah kagum, dan jangan mentang-mentang). ”Kalau kita mendapat kedudukan, maka aja dumeh dadi presiden (jangan mentang-mentang jadi presiden), kemudian berbuat semaunya sendiri,” ujar Presiden lima belas tahun lalu atau tiga tahun sebelum lengser.

Pada masa-masa itu pula diterbitkan buku tebal yang memuja Nyonya Tien Soeharto berjudul Ibu Utama.
***