31 Januari 2007

Sesekali Jadi Koki

Tadi malam, seperti hari-hari biasanya, sebelum adzan Maghrib menggema pasti Tiwi – ini nama panggilan putri pertamaku yang sekarang duduk di kelas 3 SD – telpon ke HP-ku. Pertanyaannya selalu standar, “Ayah pulang jam berapa ?” Ketika aku jawab sekitar jam setengah delapan, kalimat lanjutan (yang sebenarnya juga standar) langsung terdengar dari seberang telpon, “Jangan lupa beli’in Tiwi lauk ya, Yah. Assalamu’alaikum…!” Dan, telpon langsung ditutup.

Tapi tadi malam aku tidak ingin membeli lauk matang kesukaan putriku. Sesekali aku ingin memasak sendiri makanan kesukaan Tiwi : nasi goreng. Sayang, begitu sampai di rumah sekitar jam 8, Tiwi dan Tyo – adiknya yang baru berusia hampir 2 tahun – sudah tidur, demikian pula ibunya. Mungkin kecapekan, karena tidak tidur siang.

Sambil menunggu Tiwi bangun – untuk mengerjakan PR, begitu biasanya – aku baca-baca koran pagi yang belum sempat aku jamah sejak di kantor. Jam 9 lebih sedikit Tiwi bangun. Sebelum menanyakan pesanannya, aku langsung mengajak ke dapur untuk menyiapkan makan malamnya. Telur, bumbu dapur, mentega sudah tersedia. Setelah mengupas bawang merah, bawang putih, meng”uleg”nya campur garam, terasi, gula dan cabe merah, acara menggoreng nasi terasa heboh. Apalagi Tiwi punya ide untuk menggoreng ikan asin kering “kesukaan” ibunya yang ada di meja dapur.

Sayang, saat udah siap disantap, Tiwi tidak berhasil membujuk ibunya untuk ikut santap malam dengan nasi goreng + ikan asin kering ala “Ayah Tiwi” hehehe…. Porsi (yang seharusnya untuk) 3 piring dengan senang hati kami bagi berdua, dan habiiis…!!!

Ritual bikin nasi goring sendiri macam ini, sebenarnya bukan hal yang aneh, karena minimal 1 minggu sekali pasti Tiwi “memaksa” aku untuk jadi koki dadakan, entah pagi hari sebelum berangkat sekolah, atau malam hari kalau lagi malas cari lauk keluar. Yang pasti, ada kenikmatan tersendiri, ketika bias “membahagiakan” si kecil, meski dengan cara yang sederhana….