08 April 2009

Perjuangan Para Caleg, Sebuah Ironi

Besok, tanggal 9 April 2009 – bertepatan dengan ulang tahunku sebenarnya – seluruh komponen bangsa Indonesia akan melaksanakan hajat 5 tahunan, pemilihan umum legislatif. Meski sudah rutin, tapi kali ini ada sisi menarik yang patut dicermati, yaitu pertarungan (dan pertaruhan) antar calon anggota legislatif, baik dalam satu partai maupun dengan partai lain.

Yup, karena aturannya beda dengan pemilu sebelumnya – yang penentuan anggota legislatif dari tiap partai berdasar nomor urut – kali ini melalui keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) diputuskan caleg yang akan duduk di DPRD II, DPRD I, dan DPR Pusat ditentukan berdasarkan suara terbanyak. Sehingga, pertarungan sudah terjadi sejak awal di tingkat partai, karena caleg nomor buncit (terakhir) pun bisa terpilih jadi caleg asal mendapat suara besar.

Nah, dampak lain yang muncul adalah (akhirnya) para caleg menggunakan segala macam kiat untuk bisa gol jadi anggota legislatif. Mulai dari yang konvensional (sebar brosur, cetak pamflet, pasang poster dan kampanye terbuka) sampai yang diluar nalar dan akal sehat. Yang lebih tragis lagi, biaya operasional dan non-teknis para caleg jadi membengkak dan tidak terukur lagi, bahkan terkesan membabi buta karena besar pasak daripada tiang.

Salah satu contoh konkrit, seorang teman baikku yang kini menjadi caleg salah satu partai baru peserta Pemilu 2009, dan ditempatkan di daerah pemilihan (dapil) jauh dari wilayah domisili dan tempat tinggalnya. Meski nomor urut caleg terbilang besar – kalau memakai sistem lama sih, udah nggak ada harapan deh – temanku ini masih punya nyali dan harapan untuk “berjuang” meraih satu kursi di DPRD tingkat kota/kabupaten di wilayah Jawa Barat.

Secara logika, gimana mau dipilih kalau ybs bukan warga daerah pemilihan (dapil) tersebut, bagaimana bisa dikenal masyarakat kalau domisilinya saja di Jakarta. Tetapi, politik membuat orang terangsang untuk mengeluarkan jurus dan ide yang kadang terkesan “gila”. Jurus yang dipakainya adalah memindahkan keluarga dan kerabat dari wilayah Jakarta untuk mencontreng di wilayah Jawa Barat, dengan cara mengurus surat pindah (lokasi) contreng dari kelurahan. Bisa dibayangkan, berapa biaya yang harus dikeluarkan untuk mengurus surat di kelurahan, transportasi ke lokasi TPS, uang makan, uang kontrak rumah (untuk menginap para kerabat), uang saku tim sukses, dan tetek bengek lainnya.

Informasi nominal angka yang sudah dikeluarkan – untuk biaya jadi caleg temanku tersebut – adalah 340 juta rupiah. Sebuah jumlah yang (menurut beberapa anggota tim sukses caleg dari partai besar) masih biasa-biasa saja, karena rata-rata untuk DPRD kota/kabupaten seorang caleg bisa mengeluarkan minimal 500 juta.

Agak sulit diterima akal, karena jumlah itu (ternyata) belum jadi jaminan untuk bisa jadi anggota legislatif atau tidak. Padahal, dari ratusan ribu caleg DPRD II, mayoritas bukan dari kalangan mapan dari segi penghasilan. Lantas, apa yang akan terjadi kalau (sudah mengeluarkan uang segitu besar) tidak terpilih jadi caleg? Atau, kalau jadi anggota dewan, apakah juga ada upaya untuk “mengembalikan modal” yang sudah dikeluarkan? Dengan cara apa? Sebuah ironi, memang.