19 Desember 2008

Foto Bugil – Antara Kebebasan, Teknologi dan Moralitas

Tulisanku ini sebenarnya sudah pernah dimunculkan di blog alumni sekolahku, 15 Desember kemarin. Tetapi, rasanya cukup menarik kalau aku pasang diblog-ku sendiri, meski ada beberapa petikan kalimat yang sudah aku terjemahkan ke bahasa Indonesia. Tidak ada tendensi apapun dan pada siapapun aku menulis ini, selain untuk menunjukkan bahwa inilah realita yang ada saat ini. Berikut tulisan lengkapnya:

Karena tidak ada kegiatan lagi, sambil menunggu jadwal keberangkatan kereta api ke Jakarta, siang itu (awal Desember 2008) sekitar jam satu, aku sempatkan mampir ke warnet dekat rumah. Biasalah, untuk mengecek email kantor, siapa tau ada pekerjaan ringan yang bisa dikerjakan saat itu juga.

Begitu masuk warnet berisi 12 komputer tersebut, sekitar 7 kursi sudah terisi. Saat menuju tempat paling ujung – ini tempat favoritku setiap ke warnet ini – aku melewati salah satu komputer yang berisi 3 remaja tanggung, teman-teman keponakanku yang baru duduk di bangku SMA. Aku sempatkan menghampiri dan sambil bercanda aku berujar, “Pada ngapain nih, jangan buka situs jorok melulu lho!”

Dengan tertawa lepas mereka menjawab kompak, “Tenang Om, ini lagi cari data buat tugas sekolah koq.” Dan, yang membuatku kaget adalah perkataan mereka selanjutnya, “Om, sudah dengar belum, anak sini ada yang terlibat kasus foto porno lho. Anaknya Pak …. (sensor) yang sekolah di SMA …. (sensor) itu lho. Foto sendirian sama hp-nya sih, terus ketahuan teman-temannya, ya sudah sekarang beredar luas,” cerita anak-anak itu, dengan tanpa beban.

Aku hanya ketawa, tanpa memberi komentar langsung menuju komputer paling ujung. Sesungguhnya, dalam hati aku cukup prihatin sedih melihat “perkembangan” remaja seperti ini. Dulu, setiap ada kasus penyalahgunaan teknologi (baca: handphone) untuk mengabadikan hal-hal tak senonoh – sengaja ataupun tidak – oleh para remaja, abg (dan anak-anak sekolahan), aku hanya membatin, “Koq gitu ya pergaulan anak-anak di …….. (kota/daerah tempat anak-anak tersebut)”.

Tapi, kini kejadian itu menimpa anak-anak disekitarku, tetanggaku sendiri, yang aku tahu keseharian mereka. Lebih tidak masuk nalar, Pak……… (sensor) ayah dari gadis itu adalah guruku saat aku bersekolah di …… (sensor). Sebegitu parahkah moralitas anak-anak jaman sekarang, sehingga dengan mudah dan tanpa malu-malu lagi mengabadikan dirinya tanpa penutup apa-apa di depan kamera?

Mungkin, kita – atau siapapun yang membaca tulisan ini – tidak ambil pusing, karena berfikir toh itu terjadi pada orang lain. Meski, sesungguhnya tanpa kita sadari bisa saja hal tersebut menimpa (dilakukan) orang-orang terdekat kita, apakah itu tetangga, adik, keponakan, kerabat ataupun anak-anak kita sendiri.

Intinya, kalau kita memang punya komitmen untuk “menghambat” laju kebebasan berekspresi (di depan kamera) yang kebablasan tersebut, sudah selayaknya memulai dari lingkungan sendiri, dengan memberikan pemahaman pada orang-orang terdekat betapa tidak terpujinya perbuatan tersebut (meski tujuannya untuk konsumsi sendiri). Ini bukan sekedar masalah teknologi yang disalahgunakan menjadi “jahat”, tetapi lebih pada kesadaran personal dan moralitas.

Setelah hampir satu jam setengah, saat aku mau meninggalkan warnet, aku sempatkan mendatangi sekumpulan remaja tadi, “Apa kamu ndak malu, foto telanjang temanmu tersebar kemana-mana gitu?” Dan, lagi-lagi jawabannya mengejutkan, “Salah sendiri Om. Itu masih satu yang ketahuan, padahal anak-anak itu banyak yang suka foto sendiri kayak gitu, cuma belum pada ketahuan aja.”

Nah lho.., gimana kalo sudah kayak gini ?

AddThis Feed Button