30 Desember 2008

Kenapa Harus Milan Sladek yang Jadi Tamu Tukul?

Ini memang uneg-uneg yang terpendam agak lama. Setidaknya, ketika Tukul Arwana muncul kembali di layar Trans7 memandu acara – baru tapi konsep lama – Bukan Empat Mata (BEM). Yup, aku tidak akan membahas acaranya Tukul tersebut, yang menurutku “tidak ada apa-apanya” karena memang selama 2,5 tahun ditayangkan, Empat Mata hanya berisi ocehan dan guyonan Tukul yang kering dan hambar (bahasa kasarnya: ndak ada perubahan, banyolannya itu-itu doang!).

Tapi, yang membuat ganjalan bagiku, adalah bintang tamu yang hadir di acara Bukan Empat Mata (BEM) edisi perdana tersebut. Yaitu Milan Sladek, seorang maestro pantomim terkenal di dunia, kelahiran Slowakia (dan menetap di Jerman) 70 tahun silam.

Memang sih, sebuah prestasi besar bagi BEM bisa memboyong Milan Sladek ke studio Trans7, yang kebetulan beliau memang juga lagi ada acara di Jakarta. Tetapi, perlakuan Tukul yang (sepertinya) kurang paham seni pantomin sekaligus tidak tahu siapa Milan Sladek, membuat BEM (sekaligus Tukul) melakukan pelecehan pada seni itu sendiri.

Bayangkan, ketika Milan Sladek lagi memperagakan satu adegan, Tukul memotong dengan tertawa dan tepuk tangan (ironisnya, langsung diikuti penonton di studio), disertai komentarnya yang konyol (dan melecehkan?). Kemudian Tukul membuat gerakan yang katanya juga pantomim, sambil berucap, “Waah.. saya juga bisa, pantomim sih gampaang.” Lho, ini pantomim kelas dunia, bukan topeng monyet yang penonton bisa tepuk tangan, tertawa, memberi komentar dan pergi sesukanya!

Itu belum seberapa. Saat tanya jawab, Tukul selalu nyinyir memotong penjelasan Milan Sladek – yang memakai penterjemah bahasa Jerman – dengan plesetan-plesetan yang jelas tidak lucu. Sebenarnya aku marah melihat adegan-adegan seperti itu. Jelas Milan Sladek bukan “selevel” Pak Bendot (almarhum) atau Pak Bolot ataupun juga Pak Malih yang bisa dengan seenaknya dipermainkan. Milan Sladek bukan tokoh lawak, man!

Aku yakin, yang paham siapa Milan Sladek – yang notabene adalah “guru” dari Om Didi Petet dan Om Sena Utaya (alm), dua tokoh pantomim Indonesia – pasti tidak rela dengan perlakuan Tukul. Setidaknya, Milan Sladek, kalau mau dibandingkan, ke-maestro-annya bisa disejajarkan dengan Gesang (musik) atau Usmar Ismail (film), kalau di Indonesia.

Betapa dunia hiburan kita (baca: tayangan hiburan di televisi) telah menjebloskan dirinya sendiri ke lubang “kebodohan” dengan tidak menghormati seorang maestro seni yang menjadi tamu di negerinya. Jangan berkilah bahwa ini hanya “just for kidding” (seperti yang sering diucapkan Tukul), tetapi untuk becanda tentu ada batas dan melihat siapa lawannya. Ibarat peribahasa, the right man, on the wrong place.



follow