18 Februari 2014

Tradisi Seren Taun Guru Bumi, di Kampung Sindangbarang (Bogor)

Pada akhir pekan, tamu dari Kota Jakarta dan sekitarnya mulai menempati cottage-cottage di Kampung Budaya Sindang Barang. Keruwetan jalur dari Kota Bogor ke Desa Pasir Eurih, Kecamatan Tamansari tempat berlokasinya kampung ini akhirnya diredam keheningan jalan sempit beraspal yang rapih, tepat di tepian hamparan sawah membentang. 

Sesekali suasana dikejutkan oleh adanya wisatawan asing yang berjalan menelaah perkampungan. Pada akhirnya, beberapa puluh meter sebelum masuk ke area kampung budaya ini, lapangan parkir terbuka di pagari hamparan sawah mengakomodir pengunjung yang singgah dengan kendaraan pribadi. Suasana kampung bak kilat memutar balikkan ketidak teraturan peradaban modern yang belum sempurna menjadi keasrian yang dinanti.




Ada 27 bangunan tradisional berdiri di dalam kawasan kampung budaya yang sudah berdiri sejak 6 tahun silam. Semuanya dapat dinikmati wisatawan dan yang pasti, tiap bangunan memiliki fungsi khusus. Enam leuit atau lumbung padi Ratna Inten berdiri berdampingan menghadap lapangan berumput subur. Di seberangnya, lantunan musik tradisional Sunda mengalun terbawa angin menghilang di ujung petak sawah yang siang harinya menjadi kubangan mandi kerbau bapak petani, tepat di halaman belakang kamar-kamar peristirahatan yang disewakan. Di petak lain, anak-anak belasan tahun dari kota besar mencoba mengakrabkan diri dengan lembutnya tanah lempung berair. Paket ini disediakan dengan tingkat respon yang positif dari minggu keminggu.





Paket wisata yang disuguhkan kepada tetamu sangat kental dibalut racikan budaya bertani dan pengolahan hasil bumi. Kebanggaan yang muncul dari para sesepuh yang tidak memisahkan diri dari kehadiran tamu, Nampak terekspresikan. Tak mudah bagi para sesepuh kampung menjalin keterkaitan antara sisa-sisa peradaban masyarakat spiritual dengan paket wisatanya. Ada semacam kerenggangan yang nampakan tara sisa-sisa peninggalan berupa batuan dengan kegiatan wisata, terutama acara Seren Taun Guru Bumi  yang digelar tiap tahun. 



Acara yang disebut Seren Taun Guru Bumi dapat dipahami maknanya dan keterkaitannya dengan peninggalan batu-batu aneh bila kita memahami budaya masyarakatnya. Nyatanya, dalam Seren Taun Guru Bumi,  ada satu prosesi yang intinya mengumpulkan air dari 7 mata air suci. Kesucian air ini dinilai tepat bila berada di area berdirinya menhir atau punden berundak. Dengan ini, maka Nampak hubungan antara manusia dengan Seren Taun Guru Bumi sebagai tradisi ritual. Sedangkan event tersebut dengan tinggalan-tinggalan batu misterius menunjukkan keterkaitan historis.



Sejarah panjang tempat ini seolah mengembalikan Sindang barang pada masa lalunya yang dipercaya sebagai tempat suci peribadatan. Tak salah Pak  Ukad, Pak Maki, Pak Ace, dan Ustad Jadi, pelopor Kampung Budaya Sindang barang, begitu optimis dan berbangga hati bila kejayaan tempat ini akan berulang, setidaknya dengan mengembangkan apa yang dulu pernah terjadi secara tradisi turun temurun dari generasi ke generasi, yaitu adanya Sidekah Bumi, yang kini lebih dipopulerkan dengan sebutan Seren Taun.



Sindang barang memiliki makna filosofis dan historis yang sakral. Sindang artinya berhenti, dan barang dimaknakan kepada keduniaan dan materialisme. Makna keseluruhannya ialah tempat untuk meninggalkan urusan keduniawian. Di sini urusan rohani berlangsung, tutur Pak Ukad, salah seorang perintis Kampung Budaya Sindang barang. Maka dari itu, masyarakat di sini tak boleh berniaga untuk kepentingan duniawi, apalagi bila permodalan dipinjam dari bank pemerintah, katanya. Semua bisnis dilakukan atas modal sendiri. Bila ada yang melanggar, kerugian pasti didapatkan, tanpa ada kontrol atau pun sanksi adat.



Telusurilah beberapa bukti peninggalan zaman batu monolit yang berada di dalam lingkungan perkampungan masyarakat setempat yang mulai padat. Masyarakat yang berangsur modern ini masih menampakkan bulu halusnya berdiri bila barang keramat yang berada di tengah-tengah perkampungannya dilecehkan. Ada kengerian berbau mistis dalam negosiasi kesetiaan berbudaya dengan terjangan modernisasi. Hal ini menjadi unik dan sekaligus memancar sebagai daya tarik bagi mereka yang terpikat dengan cerita bernuansa sejarah. Akhir pekan menjadi penuh pengalaman sekaligus pengenalan terhadap bukti dan nilai sejarah suatu tempat yang selama ini seolah dinihilkan keberadaannya.

***