Adanya ungkapan bahwa
ujian terberat seorang calon ibu – perempuan yang sudah menikah – adalah saat
menjalani proses kehamilan, bisa jadi benar adanya. Karena setiap kehamilan,
selalu ada potensi mengalami resiko potensi tinggi dalam kehamilan, yang mau
tidak mau harus memerlukan perawatan ekstra selama kehamilan sampai melahirkan.
Secara umum, yang
dimaksud kehamilan resiko tinggi adalah suatu kondisi yang bisa mengancam
kesehatan dan keselamatan ibu dan janin, yang disebabkan karena komplikasi saat
kehamilan atau kondisi medis yang sudah ada pada ibu sejak sebelum hamil.
Biasanya, rentan dialami oleh ibu yang memiliki masalah pada kehamilan sebelumnya,
misalnya pernah melahirkan prematur, yang otomatis menimbulkan resiko pada
kehamilan berikutnya meski dalam bentuk yang berbeda.
Atau, kehamilan resiko
tinggi bisa juga disebakan karena sejak awal kehamilan seorang ibu tidak pernah
melakukan pemeriksaan, sehingga dokter atau bidan tidak mampu melakukan deteksi
dini kelainan atau komplikasi yang mungkin timbul pada kehamilan tersebut. Dan
faktor kelainan yang terdapat pada ibu atau janin inilah yang akan memberikan
dampak bagi proses persalinan maupun kelangsungan kehamilan.
Adapun yang masuk dalam
kelompok ibu dengan resiko tinggi dalam kehamilan diantaranya: ibu hamil dengan
umur kurang dari 20 tahun, hamil dengan umur lebih dari 35 tahun, ibu dengan
tinggi badan kurang dari 145 cm, ibu dengan berat badan kurang dari 45 kg, ibu
dengan jarak umur anak terakhir dengan kehamilan berikutnya kurang dari 2
tahun, dan juga ibu dengan jumlah anak lebih dari 4.
Saya tak hendak membahas
lebih detail kehamilan resiko tinggi ini, tetapi justeru ingin berbagi pengalaman
bahwa resiko tinggi saat kehamilan tidak hanya terjadi pada ibu hamil yang
masuk kelompok tersebut diatas, tetapi bisa dialami oleh siapapun – perempuan
yang sedang menjalani kehamilan – jika tidak tertib menjaga kesehatan selama
kehamilannya tersebut.
Sebagai contoh kasus, ketika
istri saya menjalani proses kehamilan anak ke-2 di usia 30 tahun. Sebagai
gambaran, saat melahirkan anak pertama, istri saya berusia 23 tahun, secara
normal dengan kondisi ibu dan janin tidak ada masalah selama proses kehamilan.
Dengan acuan itu – ditambah konsultasi rutin pada bidan – kehamilan ke-2 ini
bisa dikatakan aman dan tidak masuk kategori berisiko tinggi dalam
kehamilannya.
Tapi memasuki minggu
ke-11 masa kehamilan – atau bulan ke-3 – istri saya mengalami pendarahan yang
cukup mengkhawatirkan. Diawali sedikit flek darah pada siang hari, dan terus
berlanjut beberapa kali, sampai malam hari keluar darah yang mengental
(menggumpal). Awalnya saya menganggap mungkin karena istri kecapekan berbenah
rumah seharian, karena kebetulan saat itu kami sedang pindah ke rumah baru di
Jakarta Timur.
Karena sampai jam 11
malam gumpalan darah makin banyak, akhirnya saya bawa ke bidan tempat periksa
rutin, yang berjarak 2 kilometer dari rumah. Setelah menjalani pemeriksaan
sekitar 15 menit, bidan menemui saya dan mengatakan bahwa berdasar pengalaman
menangani pasien hamil selama ini, kondisi janin di perut istri saya sulit
dipertahankan alias harus dikeluarkan dengan segera, agar tidak menjadi
penyakit.
Saya tidak terima,
karena harus menunggu 7 tahun untuk bisa mendapatkan (calon) anak ke-2, dan
malam itu harus dibuang begitu saja. Meski panik, saya minta dibuatkan rujukan
ke rumah sakit, saya ingin mendapat layanan lebih baik demi menyelamatkan janin
yang dikandung istri saya. Melalui perdebatan sengit, bidan akhirnya membuat
rujukan – dengan catatan kalau ada apa-apa dia tidak bertanggung jawab – yang
ditujukan pada Rumah Sakit Polri Dr. Soekanto, Kramat Jati, Jakarta Timur.
Sekitar jam 12 malam, dengan menggunakan 2 buah motor ojek saya bawa istri ke
rumah sakit rujukan yang berjarak 6 kilometer.
Sampai rumah sakit,
melalui prosedur yang begitu berbelit – malam itu istri saya tidak langsung
mendapat kamar perawatan karena saya peserta Jamsostek dan harus menunggu
konfirmasi dari kantor saya terlebih dahulu, yang artinya harus menunggu pagi
buka jam kantor – akhirnya saya memutuskan bayar tunai, dan barulah dapat kamar
dan penanganan lebih lanjut.
Setelah ditanggani
secara intensif selama 2 hari – melalui berbagai pemeriksaan dan pengobatan –
akhirnya dokter yang menangani istri memanggil saya dan mengatakan bahwa ada campur tangan Tuhan yang memberikan mukzizat
sehingga janin bisa diselamatkan karena masih kuat menempel. Dokter senior
tersebut menjelaskan rata-rata kasus seperti ini sulit untuk diselamatkan,
apalagi kalau sedikit terlambat dalam penanganannya. Saya mengucap syukur tak
henti-henti saat itu.
Dan dengan pengawasan
ketat terhadap istri selama masa kehamilan – perawatan, obat-obatan, serta
konsultasi rutin ke dokter – akhirnya anak ke-2 saya lahir pada bulan Maret
2005 dengan selamat dan kondisi normal.
Satu pelajaran penting
yang ingin saya sampaikan – mengacu pada kejadian diatas – bahwa berbagai teori
yang membahas tentang persiapan jadi ibu, tentang tata cara menjaga kehamilan,
ataupun juga mengantisipasi berbagai hal yang dapat menyebabkan kehamilan
beresiko tinggi, tidak ada gunanya kalau tidak ada kesadaran dan kedisplinan
dalam menjaga kehamilan itu sendiri. Termasuk upaya-upaya jika terjadi sesuatu
hal yang tidak diinginkan.
Semoga tulisan ini bisa
menjadi pelajaran bagi para calon ibu pada khususnya, dan kita semua yang
peduli pada kesehatan keluarga dan orang-orang yang ada di lingkungan sekitar
kita, yang sedang menjalani proses kehamilan.