04 April 2020

Hamil Normal Juga Bisa Kena Resiko Tinggi Kehamilan


Adanya ungkapan bahwa ujian terberat seorang calon ibu – perempuan yang sudah menikah – adalah saat menjalani proses kehamilan, bisa jadi benar adanya. Karena setiap kehamilan, selalu ada potensi mengalami resiko potensi tinggi dalam kehamilan, yang mau tidak mau harus memerlukan perawatan ekstra selama kehamilan sampai melahirkan.

Secara umum, yang dimaksud kehamilan resiko tinggi adalah suatu kondisi yang bisa mengancam kesehatan dan keselamatan ibu dan janin, yang disebabkan karena komplikasi saat kehamilan atau kondisi medis yang sudah ada pada ibu sejak sebelum hamil. 


Biasanya, rentan dialami oleh ibu yang memiliki masalah pada kehamilan sebelumnya, misalnya pernah melahirkan prematur, yang otomatis menimbulkan resiko pada kehamilan berikutnya meski dalam bentuk yang berbeda.

Atau, kehamilan resiko tinggi bisa juga disebakan karena sejak awal kehamilan seorang ibu tidak pernah melakukan pemeriksaan, sehingga dokter atau bidan tidak mampu melakukan deteksi dini kelainan atau komplikasi yang mungkin timbul pada kehamilan tersebut. Dan faktor kelainan yang terdapat pada ibu atau janin inilah yang akan memberikan dampak bagi proses persalinan maupun kelangsungan kehamilan.

Adapun yang masuk dalam kelompok ibu dengan resiko tinggi dalam kehamilan diantaranya: ibu hamil dengan umur kurang dari 20 tahun, hamil dengan umur lebih dari 35 tahun, ibu dengan tinggi badan kurang dari 145 cm, ibu dengan berat badan kurang dari 45 kg, ibu dengan jarak umur anak terakhir dengan kehamilan berikutnya kurang dari 2 tahun, dan juga ibu dengan jumlah anak lebih dari 4.

Saya tak hendak membahas lebih detail kehamilan resiko tinggi ini, tetapi justeru ingin berbagi pengalaman bahwa resiko tinggi saat kehamilan tidak hanya terjadi pada ibu hamil yang masuk kelompok tersebut diatas, tetapi bisa dialami oleh siapapun – perempuan yang sedang menjalani kehamilan – jika tidak tertib menjaga kesehatan selama kehamilannya tersebut.

Sebagai contoh kasus, ketika istri saya menjalani proses kehamilan anak ke-2 di usia 30 tahun. Sebagai gambaran, saat melahirkan anak pertama, istri saya berusia 23 tahun, secara normal dengan kondisi ibu dan janin tidak ada masalah selama proses kehamilan. Dengan acuan itu – ditambah konsultasi rutin pada bidan – kehamilan ke-2 ini bisa dikatakan aman dan tidak masuk kategori berisiko tinggi dalam kehamilannya.

Tapi memasuki minggu ke-11 masa kehamilan – atau bulan ke-3 – istri saya mengalami pendarahan yang cukup mengkhawatirkan. Diawali sedikit flek darah pada siang hari, dan terus berlanjut beberapa kali, sampai malam hari keluar darah yang mengental (menggumpal). Awalnya saya menganggap mungkin karena istri kecapekan berbenah rumah seharian, karena kebetulan saat itu kami sedang pindah ke rumah baru di Jakarta Timur.

Karena sampai jam 11 malam gumpalan darah makin banyak, akhirnya saya bawa ke bidan tempat periksa rutin, yang berjarak 2 kilometer dari rumah. Setelah menjalani pemeriksaan sekitar 15 menit, bidan menemui saya dan mengatakan bahwa berdasar pengalaman menangani pasien hamil selama ini, kondisi janin di perut istri saya sulit dipertahankan alias harus dikeluarkan dengan segera, agar tidak menjadi penyakit.

Saya tidak terima, karena harus menunggu 7 tahun untuk bisa mendapatkan (calon) anak ke-2, dan malam itu harus dibuang begitu saja. Meski panik, saya minta dibuatkan rujukan ke rumah sakit, saya ingin mendapat layanan lebih baik demi menyelamatkan janin yang dikandung istri saya. Melalui perdebatan sengit, bidan akhirnya membuat rujukan – dengan catatan kalau ada apa-apa dia tidak bertanggung jawab – yang ditujukan pada Rumah Sakit Polri Dr. Soekanto, Kramat Jati, Jakarta Timur. Sekitar jam 12 malam, dengan menggunakan 2 buah motor ojek saya bawa istri ke rumah sakit rujukan yang berjarak 6 kilometer.

Sampai rumah sakit, melalui prosedur yang begitu berbelit – malam itu istri saya tidak langsung mendapat kamar perawatan karena saya peserta Jamsostek dan harus menunggu konfirmasi dari kantor saya terlebih dahulu, yang artinya harus menunggu pagi buka jam kantor – akhirnya saya memutuskan bayar tunai, dan barulah dapat kamar dan penanganan lebih lanjut.

Setelah ditanggani secara intensif selama 2 hari – melalui berbagai pemeriksaan dan pengobatan – akhirnya dokter yang menangani istri memanggil saya dan mengatakan bahwa ada campur tangan Tuhan yang memberikan mukzizat sehingga janin bisa diselamatkan karena masih kuat menempel. Dokter senior tersebut menjelaskan rata-rata kasus seperti ini sulit untuk diselamatkan, apalagi kalau sedikit terlambat dalam penanganannya. Saya mengucap syukur tak henti-henti saat itu.

Dan dengan pengawasan ketat terhadap istri selama masa kehamilan – perawatan, obat-obatan, serta konsultasi rutin ke dokter – akhirnya anak ke-2 saya lahir pada bulan Maret 2005 dengan selamat dan kondisi normal.

Satu pelajaran penting yang ingin saya sampaikan – mengacu pada kejadian diatas – bahwa berbagai teori yang membahas tentang persiapan jadi ibu, tentang tata cara menjaga kehamilan, ataupun juga mengantisipasi berbagai hal yang dapat menyebabkan kehamilan beresiko tinggi, tidak ada gunanya kalau tidak ada kesadaran dan kedisplinan dalam menjaga kehamilan itu sendiri. Termasuk upaya-upaya jika terjadi sesuatu hal yang tidak diinginkan.

Semoga tulisan ini bisa menjadi pelajaran bagi para calon ibu pada khususnya, dan kita semua yang peduli pada kesehatan keluarga dan orang-orang yang ada di lingkungan sekitar kita, yang sedang menjalani proses kehamilan.