02 Juni 2010

Melogikakan Tradisi Selamatan (Membangun) Rumah

“Coba dicari hari baiknya dulu…” begitu kira-kira yang aku tulis di status facebook, beberapa waktu lalu. Kalimat itu aku tulis karena terinspirasi ucapan tukang bangunan yang sedang merenovasi rumah, ketika membicarakan apakah perlu dilakukan ritual (tradisi) syukuran saat akan memasang kuda-kuda rumah (naik atap) nanti.

Lucunya, berbagai komentar langsung bermunculan, atas sepotong kalimat di FB-ku tersebut. Mulai dari yang serius, asal-asalan, sampai (terkesan) ngawur memenuhi topik tersebut. Dan jujur saja, aku sendiri tidak percaya sepenuhnya akan hari baik yang dihubungkan dengan hari (weton) kelahiran dan sebangsanya itu. Semua hari itu baik, tergantung kita memanfaatkan untuk apa hari-hari yang kita lewati tersebut bukan?

Kalau toh aku akhirnya mengadakan syukuran, itu sebatas ungkapan terima kasih bahwa “hajat” yang aku laksanakan sudah berjalan lancar. dan semoga Allah SWT meridhoi rencana-rencana ke depan selanjutnya. Dan secara kebetulan pula aku menemukan sebuah tulisan yang berhubungan dengan tradisi selamatan rumah – yang sejalan dengan pikiranku – di rubrik konsultasi Arsitektur situs EraMuslim, yang diasuh Ir. Aria Heryantha.

Tulisan di situs yang bermoto “media islam rujukan” itu berjudul Tradisi Pada Saat Bangun Rumah. Harapanku, tentu bisa menjadi pencerahan bagi mereka yang mempunyai pertanyaan dan “problem” yang sama tentang tradisi turun-temurun ini. Berikut selengkapnya:

Kebiasaan memilih hari baik, mengadakan selamatan dengan perletakan batu pertama atau menanam kepala kerbau, memasang sesaji pada saat pasang kuda-kuda dan berbagai mitos lain yang dianggap menjadi syarat wajib pada saat membangun rumah sebenarnya sudah sejak lama dilakukan oleh orang-orang primitif dan kebiasaan tersebut tidak jelas kapan dimulai dan siapa yang memulainya.

Keyakinan ini bahkan hingga kini masih dianut oleh orang-orang modern dan terpelajar bahkan bangunan yang dibangun dengan teknologi canggih pun masih menjalankan ritual ini karena dianggap dapat menjadi ‘tolak bala’ dan akan memperkuat bangunan. Jika ada bangunan yang roboh pasti komentar pertama adalah “Itulah akibatnya jika tidak bikin selamatan”, atau “tidak ada tebusan kepala kerbaunya sih” dan sebagainya yang jelas-jelas sudah tidak masuk akal.

Pendapat mereka pun beragam dalam menghadapi ritual-ritual tersebut, ada yang mengatakan “ya kita ikuti aja tradisi yang sudah turun temurun daripada nanti disalahkan”, ada juga yang jelas-jelas mengatakan bahwa“supaya jin-jin penunggunya tidak marah dan mengganggu” ada juga yang mengatakan “inikan sarana kita untuk mendekatkan diri dan memohon pertolongan Allah” dan sebagainya.

Sikap kita sebagai seorang muslim menghadapi fenomena ini adalah :

• Bertanya pada ulama sehingga kita tahu dasar hukumnya melakukan ritual tersebut sehingga kita tidak terjebak pada perbuatan syirik.

• Meyakini hanya Allah yang wajib di ibadahi karena Allah yang telah menciptakan jin dan manusia, sehingga tidak ada dasarnya kita mengabdi atau meminta pertolongan pada jin dan makhluk-makhluk lain karena akan menambah kita pada kesyirikan.

• Allah tidak butuh media perantara dan simbol-simbol karena Allah Maha Mengetahui dan Maha Mendengar bahkan segala keburukan dan kebaikan sebesar atom pun tidak luput dari hisab Allah SWT. Kesyirikan-kesyirikan di masa jahiliyah juga disebabkan mengikuti tradisi-tradisi turun temurun yang menggunakan perantara-perantara dalam mendekatkan diri pada Allah yang tidak ada dasar perintah Nya.

• Meyakini asma Allah AL MAANI'U “Yang menolak bahaya”, serta asma-asma Allah yang lainnya sehingga tidak patut kita memohon pertolongan pada selain Allah SWT.

• Menggunakan logika kita bahwa tidak ada kaitannya kekuatan bangunan dengan kepala kerbau atau sesaji yang lain karena kekuatan bangunan tergantung dari konstruksinya. Perencanaan yang benar serta pelaksanaan yang sesuai dengan desain yang akan menentukan kokoh atau tidaknya suatu bangunan.

• Menjelaskan dengan bahasa yang halus pada orang-orang tua kita sehingga tidak terjadi salah persepsi dan menganggap kita ‘sok tahu’ dan tidak mau mengikuti tradisi, ajaklah mereka bersilahturahim dengan para ulama agar bisa dijelaskan hukum syariahnya, dosa serta balasannya di dunia dan di akhirat kelak.

• Membuat selamatan sebagai ganti ritual tersebut dengan niat sebagai bentuk syukur kita pada Allah SWT karena telah diberikan rizki dan kemudahan serta memanjatkan doa memohon ampunan dan pertolongan Allah agar dimudahkan dalam segala hal. Anda bisa membaca doa-doa yang terhimpun dalam Al Ma’tsurat atau yang lainnya karena setiap doa yang diniatkan dengan penuh keikhlasan dan hanya ditujukan untuk Allah semata, Insya Allah akan didengar dan diijabah oleh Allah SWT.
***