-----------------------------------------------------
Inilah sepenggal cerita awal musibah yang menimpa Sam Ikul – panggilan akrab Lucky Acub Zaenal, pendiri AREMA – yang mendapat kehormatan dari insan sepakbola nasional, dengan digelarnya “Charity Match Garuda Merah – Garuda Putih” berupa pertandingan amal bertajuk bintang tim nasional, yang akan digelar di Stadion Gajayana - Malang, Rabu, 4 Agustus 2010 (disiarkan langsung antv, 15.30 wib). Pertandingan ini digagas GOAL.com Indonesia bekerja sama dengan Gilbol Network dan harian olahraga TopSkor.
------------------------------------------------------
Pasang surut perjalanan Arema – klub sepakbola professional asal Malang yang sekarang bernama Arema Indonesia – dalam mengejar prestasi tak bisa dipisahkan dari sosok Lucky Acub Zaenal. Sayangnya, pendiri tim berjuluk Singo Edan itu sementara waktu tidak bisa melihat tim kesayangannya berlaga di tanah air. Saat Arema Indonesia meraih juara Superliga Indonesia 2009/10, Lucky hanya bisa terdiam dan menangis. Bukan karena Lucky tak lagi sayang pada Arema, namun ketidakhadirannya itu karena cobaan yang tengah menderanya.
Perjuangan Lucky kini amat berat. Ayah tiga anak (satu dari istri pertama yang sudah dicerai dan dua dari istri kedua) ini harus menata mental untuk lebih menguatkan diri menghadapi cobaan yang dihadapinya. Namun, dengan dukungan dari orang-orang tercintanya, Lucky berjuang menjalani kehidupannya yang gelap.
Melihat penampilannya, sekilas memang tidak ada yang berubah pada sosok Lucky. Kesan penampilan nyentrik masih tetap melekat pada pendiri Arema itu. Mengenakan jaket biru dipadu t-shirt warna senada, Lucky terlihat masih peduli dengan penampilannya. Bahkan, ciri khas anting dari emas putih pun masih menggantung di daun telinga sebelah kirinya.
Barangkali yang membedakan hanya tongkat kecil yang kini selalu setia mendampinginya. Tongkat sekitar setengah meter tersebut yang menjadi temannya ketika dia berjalan.
"Saya tidak pernah mengeluh. Dengan begini artinya Allah masih mencintai saya," ucap Lucky sambil meletakkan tongkat kecilnya sesaat setelah dia duduk.
Lucky lantas melanjutkan ceritanya. Sebelum musibah yang merenggut dua indera penglihatannya itu, dia sebenarnya sudah lebih dulu keluar masuk rumah sakit di Malang. Itu terjadi sekitar pertengahan 2004 saat divonis dokter menderita hepatitis C.
"Hampir 13 kali saya keluar masuk rumah sakit. Kesehatan saya pun sudah dalam pengawasan dokter," katanya seraya mengambil rokok dari balik saku jaketnya.
Biaya pengobatan itu pun sampai tak terhitung berapa besarnya. Namun, rasa syukur masih terus menyelimuti Lucky kala dia mendapatkan kabar jika penyakit yang dideritanya mulai membaik. Berita bahagia itu diterimanya Agustus 2005. Kebagiaan itu tak lama dinikmatinya. Tiga bulan berikutnya, sekitar November 2005, ketabahannya menjalani hidup mulai diuji kembali. Penglihatan sebelah kirinya terasa ada yang ganjil.
"Mata kiri saya tiba-tiba kabur. Saya pun lantas ke dokter, anehnya saya divonis terkena glukoma. Padahal saya tidak memiliki riwayat penyakit diabetes," kata pria yang kini tinggal kawasan Lembah Dieng ini.
Dalam hitungan hari, musibah datang silih berganti. Selang dua minggu, belum hilang rasa penasarannya, Lucky divonis terkena migran. Saat itu juga, mata sebelah kiri yang awalnya masih kabur akhirnya total tak bisa melihat. Lucky pun menjalani perawatan medis lebih intensif. Sampai keadaan ekonomi keluarganya porak poranda untuk membiayai pengobatannya.
"Dalam keadaan itu saya masih bisa bekerja, malah saya sempat menyaksikan final Copa Indonesia di Jakarta. Tapi, saat itu penglihatan saya sudah tidak beres. Saya sudah tidak bisa melihat bola, yang terlihat cuma pemain yang berlari-lari," kenangnya.
Ujian tak berhenti di situ. Awal Januari 2006, ganti penglihatan mata sebelah kanannya mengalami gangguan. Yang dia rasakan mirip seperti kejadian mata sebelah kirinya beberapa waktu lalu.
"Untuk melihat kok kabur? Saya sudah mulai cemas. Ada ketakutan yang mulai membayangi saya saat itu," tambahnya.
Upaya pengobatan medis yang ditempuhnya tak membuahkan hasil. Justru satu bulan berikutnya, Februari, penghilatan kanannya menurun drastis. Jarak pandangnya tinggal 25 persen saja. Namun Lucky masih bisa melihat sinar, termasuk menyaksikan perubahan siang dan malam. Lalu?
"Sekitar Maret, kedua mata saya buta. Saya pun butuh menata mental menerima keadaan saya. Ini pukulan berat bagi saya," kata Lucky.
Tangis Lucky pun pecah. Dia tampak sekali tak bisa menyembunyikan goncangan hebat yang sedang menimpanya.
"Tapi, anak dan istri saya sangat luar biasa perjuangannya. Keluarga dan orang-orang terdekat saya yang mampu membuat saya bisa bangkit seperti sekarang," ujarnya dengan suara parau.
Dukungan keluarganya terus mengalir. Lucky pun dibawa ke Jakarta untuk menjalani pengobatan. Namun, kepedihannya makin menjadi setelah sekian lama menjalani pengobatan, tapi dokter yang menangani malah menyatakan angkat tangan.
"Yang saya khawatirkan terjadi, kedua mata saya buta. Berat sekali rasanya. Saya harus siap dengan problematika vonis yang diberikan dokter yang menangani saya," ujarnya.
--------------------
Nama : Lucky Acub Zaenal
Lahir : Malang, 1960
Karier :
- Pembalap Nasional 1980/90-an
- Pendiri dan Pengurus Arema (1987-2003)
--------------------
***
sumber: goal.com