25 Juni 2008

Menunggu Langkah KPK Mengambil Alih Kasus BLBI

Mencuatnya kasus rekaman pembicaraan Ayin dengan para jaksa, menurut banyak orang, menjadi bukti Kejaksaan Agung (Kejagung) tak lagi pantas menangani kasus korupsi, terkhusus kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Pakar hukum Denny Indrayana menyebut, secara sosial dan moral Kejagung sudah habis. Dan secara tata negara, kini hanya institusi independen yang bisa menangani kasus BLBI. Sebab, masih kata Denny, air (baca : uang hasil korupsi BLBI) sudah mengalir terlalu jauh.

Nah, saat ini satu-satunya institusi penegak hukum yang independen adalah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Selama ini, perdebatan yang mengemuka bila KPK mengambil alih penyelidikan kasus BLBI adalah masalah waktu kejadian perkara yang terjadi sebelum adanya KPK.

Tapi, berkat Ayin, KPK bisa tangani kasus BLBI secara pidana. Pakar hukum pidana Romly Atmasasmita menunjuk Pasal 9 huruf d UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai jawabnya. KPK bisa mengambil alih penyidikan untuk menangani tindak pidana korupsi yang mengandung unsur korupsi. Faktanya, bisa dilihat di Kejagung, yang tinggal Jaksa Agung saja yang belum terlibat, kata Ramly.

Bahkan, masih menurut Ramly, ada 30 ahli hukum pidana yang sedang membuat kajian atas kelayakan KPK menangani kasus BLBI. Kajian ini akan rampung akhir Juni ini. Nantinya, kajian tersebut akan diserahkan kepada Presiden, Kejaksaan, dan KPK.

Ramly menyebut pertimbangan para ahli hukum pidana ini adalah banyaknya obligor BLBI yang tidak menunjukkan iktikad baik dan sengaja melawan hukum. Selain itu, upaya penyelesaian oleh pemerintah dengan berbagai perjanjian dan surat keterangan itu semuanya menguntungkan obligor. Makanya, kesimpulan Ramly, secara pidana KPK harus mengambil alih kasus BLBI. Nah, kini bola panas ada di KPK, mau apa tidak ?