21 Juli 2008

Indonesia Super League 2008, Apanya yang Super?

Dua hari menyempatkan nonton siaran langsung Indonesia Super League (ISL) 2008 – dengan sponsor tetap Djarum Super dan ditayangan langsung ANTV – dua pemandangan berbeda muncul bergantian di hari Sabtu dan Minggu. Bagaimana tidak, Liga Super Indonesia (begitu kalau di-Indonesia-kan) yang digembar gemborkan sebagai salah satu dari 8 liga sepakbola terbaik di Asia, nyatanya masih tak beranjak dari sistem liga Indonesia yang sudah-sudah, sama-sama kurang profesional.

Memang, awalnya saat laga Persijap Jepara versus AREMA Malang ditayangkang Sabtu sore (19 Juli), sebuah pemandangan menarik tersaji. Terutama dari tim Arema. Klub yang sejak berdiri di tahun 1987 murni dibiayai swasta (tanpa sepeserpun dibantu Pemda dengan APBD-nya) ternyata masih tetap konsisten dalam membina dan memajukan persepakbolaan nasional. Meski ditinggal pemain level nasional yang membela Arema musim kompetisi tahun lalu – seperti Ponaryo Astaman, Elie Aiboi, Ortizan Sollosa, Firman Utina, Hendro Kartiko, Erol FX Iba, dan juga pelatih Miroslav Janu – toh Arema semakin mantap memulai kompetisi dengan pasukan muda (Young Guns) di bawah asuhan pelatih Bambang Nurdiansyah. Buktinya, Persijap bisa dilibas 2-1.

Sekilas, apa yang dilakukan Arema adalah contoh bagaimana sebuah klub profesional harus dibentuk. Bermula dari sekumpulan pemain muda yang bertalenta, diramu dalam satu tim dengan menyisipkan satu dua pemain senior sebagai panutan, dan dibuat target realistis dalam 2 tahun harus juara. Bukannya seperti rata-rata tim “plat merah” yang dibentuk secara instan, dengan jor-joran membeli pemain jadi, pemain nasional dan juga pemain asing dengan harga milyaran, dengan target harus juara, tanpa pernah memikirkan bahwa (uang) itu adalah uang rakyat yang biasa disebut APBD. Ada unsur politis? Jelas hiya, sebab rata-rata ketua umum tim ex perserikatan adalah Walikota/Bupati. Jadi sudah dapat diduga, sepakbola (harus mau) dijadikan kendaraan politik, kalau mau dapat kucuran dana yang lancar.

Kembali ke ISL 2008, masyarakat sepakbola nasional lagi-lagi harus mengelus dada, ketika pertandingan minggu malam (20 Juli) – Persib Bandung versus Persija Jakarta – berakhir dengan kerusuhan. Suporter (atau oknum?) selalu ingin menjadi hakim yang paling berkuasa. Kalau tim-nya kalah, wasit menjadi sasaran kesalahan dan kemarahan. Kalau tim-nya tersungkur di kandang sendiri, stadion menjadi obyek yang layak dibakar dan dirusak. Dan ini terlihat saat Persib Bandung dipecundangi Persija Jakarta, 3-2. Betapa masyarakat kita (baca: suporter sepakbola) belum bisa dewasa dan menerima sebuah kekalahan.

Lantas, melihat dua contoh kasus diatas – sebuah klub swasta yang membangun landasan sepakbola profesional dengan benar & sebuah klub (ex) perserikatan yang tetap memakai sistem instan dalam pembinaan – apakah sudah waktunya kita punya liga sepakbola yang dinamakan: Indonesia Super League (ISL)? Apakah tidak sebaiknya “ditunda” sampai infrastruktur sepakbola di masing-masing klub benar-benar siap untuk memulai liga profesional yang sebenarnya? Atau, menunggu mendapatkan kepengurusan sepakbola (PSSI) yang berisi orang-orang “bersih” ?