Tampilkan postingan dengan label PSSI. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label PSSI. Tampilkan semua postingan

31 Januari 2011

Inilah “Email Suap di Piala AFF” yang Dikirim ke Presiden SBY

Sudah baca (atau, minimal dengarlah…) surat kaleng yang dialamatkan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan ditembuskan kepada Menteri Olahraga, Ketua KPK, Ketua DPR, serta Ketua KONI yang menyebutkan sejumlah dugaan adanya praktik jual beli pertandingan timnas Indonesia yang dilakukan pejabat teras PSSI kepada bandar judi kelas kakap di Malaysia ? Nah, ternyata hari ini email itu mulai beredar luas di dunia maya.

Tidak hanya menuding oknum PSSI telah dengan tega membuat Indonesia kalah telak dari Malaysia 0-3, surat yang dikirimkan seseorang bernama Eli Cohen tersebut juga menuding sejumlah nama pejabat teras PSSI yang mendapatkan keuntungan dengan jumlah sangat besar dengan kekalahan Indonesia tersebut.

Bagaimana surat itu? Inilah surat tersebut.

----------------
From: eli cohen
Date: Sun, 30 Jan 2011 14:36:16 +0700
To: ; ;
Subject: Mohon Penyelidikan Skandal Suap saat Piala AFF di Malaysia
Kepada Yth. Bapak Susilo Bambang Yudhoyono Presiden Republik Indonesia
Di Jakarta

Dengan Hormat, Perkenalkan nama saya Eli Cohen, pegawai pajak dilingkungan kementrian Keuangan Republik Indonesia. Semoga Bapak Presiden dalam keadaan sehat selalu.

Minggu ini saya membaca majalah tempo, yang mengangkat tema khusus soal PSSI. Saya ingin menyampaikan informasi terkait dengan apa yang saya dengar dari salah satu wajib pajak yang saya periksa dan kebetulan adalah pengurus PSSI (maaf saya tidak bisa menyebutkan namanya) . Dari testimony yang disampaikan ternyata sangat mengejutkan yaitu adanya dugaan skandal suap yang terjadi dalam Final Piala AFF yang dilangsungkan di Malaysia.

Disampaikan bahwa kekalahan tim sepak bola Indonesia dari tuan rumah Malaysia saat itu adalah sudah ditentukan sebelum pertandingan dimulai. Hal ini terjadi karena adanya permainan atau skandal suap yang dilakukan oleh Bandar Judi di Malaysia dengan petinggi penting di PSSI yaitu XX dan XXX (ia menulis inisial dua nama, Red).

Dari kekalahan tim Indonesia ini baik Bandar judi maupun 2 orang oknum PSSI ini meraup untung puluhan miliar rupiah.

Informasi dari kawan saya, saat dikamar ganti dua orang oknum PSSI ini masuk ke ruang ganti pemain (menurut aturan resmi seharusnya hal ini dilarang) untuk memberikan instruksi kepada oknum pemain. Insiden “laser” dinilai sebagai salah satu desain dan pemicunya untuk mematahkan semangat bertanding.

Keuntungan yang diperoleh oleh dua oknum ini dari Bandar judi ini digunakan untuk kepentingan kongres PSSI yang dilangsungkan pada tahun ini. Uang tersebut untuk menyuap peserta kongres agar memilih XX kembali sebagai Ketua Umum PSSI pada periode berikutnya.

Saya bukan penggemar sepak bola, namun sebagai seorang nasionalis dan cinta tanah air saya sangat marah atas informasi ini. Nasionalisme kita seakan sudah dijual kepada bandar judi untuk kepentingan pribadi oleh oknum PSSI yang tidak bertanggung jawab.
Oleh karenanya saya meminta Bapak Presiden untuk melakukan penyelidikan atas skandal suap yang sangat memalukan ini.

Semoga Tuhan memberkati Negara ini.

Hormat Kami,
Eli Cohen Pegawai Pajak

Tembusan:
1. Menteri Olah Raga
2. Ketua KPK
3. Ketua DPR
4. Ketua KONI

08 Januari 2011

Inilah Profil 19 Klub Liga Primer Indonesia (LPI)

Akhirnya, Liga primer Indonesia (LPI) mendapat lampu hijau dari Badan Olahraga Profesional Indonesia dan Kepolisian Republik Indonesia untuk digulirkan, mulai Sabtu (8/1/2011), hari ini. Sebanyak 19 klub telah menyatakan kesiapannya berlaga di Liga Primer Indonesia.

Memang, Liga Primer Indonesia boleh dianggap sebagai breakaway league, yaitu kompetisi baru yang mandiri, bebas dari campur tangan PSSI, dan dengan pengelolaan yang bisa menguntungkan klub. Liga Primer Indonesia juga menawarkan aksi pemain-pemain asing yang diperkirakan bersinar atau diistilahkan sebagai marquee player.

Untuk meningkatkan tensi pertandingan – sekaligus memikat penonton – Liga Primer Indonesia sempat merayu beberapa pemain bintang seperti Edgard Davids, Nicky Butt, Robbie Fowler, Diego Tristan, dan Rigobert Song untuk bergabung. Meski hingga kini belum ada kepastian mengenai kehadiran bintang-bintang tersebut. Namun, Liga Primer Indonesia dipastikan bakal disemarakkan para pemain asing.

Dari 19 klub yang siap berlaga, empat klub di antaranya sudah tidak asing lagi di ranah sepak bola Indonesia. PSM Makassar, Persibo Brojonegoro, Persebaya Surabaya, dan Persema Malang memilih hengkang dari Liga Super Indonesia (dan Divisi Utama PSSI) demi menuju klub yang lebih profesional tanpa menggantungkan dana APBD.

Lalu bagaimana dengan 15 klub lainnya? Berikut profil klub peserta LPI yang dirilis dan diedarkan secara resmi oleh LPI:

1. Aceh United
Persebakbolaan di Kota Banda Aceh kembali hidup dengan kehadiran Aceh United sebagai salah satu peserta Liga Primer Indonesia. Banda Aceh memiliki potensi besar karena banyak tersedia bakat-bakat pemain muda dan suporter sepak bola yang aktif. Adalah Aceh United yang akan menampung bakat-bakat pemain muda Banda Aceh untuk berprestasi dan memberikan tontonan menghibur kepada para suporter.
Stadion: Harapan Bangsa, Banda Aceh (kapasitas 40.000)
Pelatih: Lionel Charbonnier (Perancis).

2. Bali De Vata
Bali tercatat pernah memiliki tim-tim yang bermain di pentas sepak bola nasional seperti pada era Liga Sepak Bola Utama (Galatama) tahun 1980-an dan Liga Divisi Utama pada tahun 2000-an. Kini Liga Primer Indonesia bertekad membawa semangat Bali dalam revolusi sepak bola nasional melalui klub Bali De Vata.
Stadion: Kapten I Wayan Dipta, Gianyar (kapasitas 25.000)
Pelatih: Willy Scheepers (Belanda)

3. Bandung FC
Bandung selalu memiliki klub-klub yang berprestasi di kancah sepak bola nasional. Setelah Persib dan Maung Bandung Raya, kini muncul Bandung FC sebagai klub sepak bola baru di Bandung, tentunya, semakin mengharumkan nama Kota Kembang ini. Kekuatan klub muda ini langsung terlihat dalam laga pramusim kompetisi dan memiliki harapan besar di arena Liga Primer Indonesia.
Stadion: Siliwangi, Bandung (kapasitas 25.000)
Pelatih: Nandar Iskandar (Indonesia)

4. Batavia Union
Mewakili Kota Jakarta, Batavia Union merupakan klub baru dengan materi pemain-pemain yang andal dan berpengalaman menggeluti liga nasional. Meski baru, klub ini telah memiliki basis suporter yang setia dan bersemangat. Klub ini juga merupakan salah satu klub yang bersinar pada laga pramusim kompetisi LPI.
Stadion: Tugu, Jakarta (kapasitas 20.000)
Pelatih: Roberto Bianchi (Brasil)

5. Bogor Raya
Klub yang dikenal dengan julukan "Laskar Kujang" ini berisikan manajemen muda yang kreatif dan penuh semangat. Klub ini juga membuat kejutan dengan mendatangkan mantan pemain River Plate, Diego Bogado, gelandang sayap asal Argentina berusia 24 tahun. Bogor Raya optimistis dapat mengubah persepakbolaan Indonesia melalui semangat generasi muda.
Stadion: Persikabo, Bogor (kapasitas 15.000) dan Pajajaran, Bogor (kapasitas 12.000)
Pelatih: John Arwandi (Indonesia)

6. Cendrawasih Papua
Cendrawasih FC lahir dari klub Kontiki FC, yang merupakan binaan para mantan pemain Persipura yang tergabung dalam Asosiasi Mantan Pemain Persipura (AMPP). Papua sendiri dikenal sebagai ladang bakat-bakat muda pemain sepak bola Indonesia dan secara konsisten melahirkan pemain-pemain bintang.
Stadion: Mandala, Jayapura (kapasitas 30.000)
Pelatih: Uwe Erkebrecher (Jerman)

7. Jakarta 1928
Jakarta 1928 merupakan salah satu klub yang unik di pentas Liga Primer Indonesia. Klub ini membawa semangat perubahan yang diusung Voetbalbond Indonesish Jakarta (VIJ), salah satu klub sepak bola yang menjadi bagian perjuangan di masa penjajahan dulu. Semangat yang sama selama ini bersemayam di klub Persija Jakarta.
Stadion: Lebak Bulus (kapasitas 25.000)
Pelatih: Bambang Nurdiansyah (Indonesia)

8. Kabau Padang
Kabau Padang lahir dari inspirasi kemandirian yang telah dibangun oleh klub sepak bola mandiri Cement Padang. Melalui persiapan yang cenderung tertutup, Kabau Padang akan menyajikan gebrakan-gebrakan di dalam arena Liga Primer Indonesia.
Stadion: Agus Salim, Padang (kapasitas 28.000)
Pelatih: Divaldo Alves (Portugal)

9. Ksatria XI Solo FC
Kota Solo memiliki sejarah panjang dan membanggakan dalam persepakbolaan Indonesia. Klub asal Kota Solo, Persis, pernah mendominasi kompetisi sepak bola Indonesia pada era 1930-an sampai 1950-an. Kemudian, di kancah Galatama, Arseto Solo juga pernah sekali juara. Namun, belakangan, nama Solo seakan tenggelam di pentas sepak bola nasional dan Jawa Tengah. Kini, Solo FC siap membawa Solo kembali berjaya di pentas nasional melalui Liga Primer Indonesia.
Stadion : Manahan, Solo (kapasitas 24.000)
Pelatih: Branko Babic (Serbia)

10. Manado United
Manado United merupakan klub sepak bola yang sudah cukup lama berdiri di Manado. Masyarakat di Manado sendiri sangat menantikan kehadiran dan selalu mendukung klub sepak bola yang dapat berprestasi dari daerahnya. Fokus Manado United adalah pengembangan pemain lokal. Diperkuat oleh mantan pemain-pemain Persma Manado, Manado United siap berprestasi pada musim kompetisi Liga Primer Indonesia.
Stadion: Klabat, Manado (kapasitas 20.000)
Pelatih: Muhammad Al-Hadad

11. Medan Bintang
Sepak bola merupakan olahraga yang sangat digandrungi masyarakat Medan. Sejumlah klub-klub sepak bola sempat mengukir prestasi di kancah nasional dan internasional. Adalah Medan Bintang, klub baru yang mendapat dukungan sejumlah elemen. Medan Bintang berambisi mengangkat dan membesarkan prestasi Kota Medan.
Stadion: Teladan, Medan (kapasitas 20.000)
Pelatih: Rene van Eck (Belanda)

12. Medan Chiefs
Medan Chiefs lahir dari semangat klub sepak bola Pro Titan yang memang sudah tidak lagi mengandalkan APBD. Pro Titan sudah lama bergelut di kancah sepak bola nasional sebagai klub yang mandiri. Semangat perjuangan klub sepak bola dari Medan tersebut akan berkembang melalui Medan Chiefs.
Stadion: Teladan, Medan (kapasitas 20.000)
Pelatih: Joerg Steinebruner (Jerman)

13. Persebaya
Persebaya memiliki sejarah panjang dalam persebakbolaan nasional Indonesia. Klub ini sempat meraih prestasi gemilang ketika klub-klub Perserikatan dan Galatama bersatu dalam Liga Indonesia (1994) dan meraih gelar juara pada tahun 1997 dan 2005. Kini Persebaya membuka lembaran baru untuk menorehkan prestasi di Liga Primer Indonesia.
Stadion: Gelora 10 Nopember, Tambaksari, Surabaya (kapasitas 35.000)
Pelatih: Aji Santoso (Indonesia)

14. Persema Malang
Persema memiliki visi untuk memajukan persebakbolaan Indonesia. Berkat visi tersebutlah, Persema memilih untuk bergabung dengan Liga Primer Indonesia. Saat ini Persema telah memiliki tim yang sangat tangguh dan memiliki peluang besar di kancah Liga Primer Indonesia.
Stadion: Gajayana, Malang (kapasitas 30.000)
Pelatih: Timo Scheuneman (Jerman)

15. Persibo
Tim "Laskar Angling Dharma" ini berdiri pada 12 Maret 1949 dan merupakan juara Divisi Utama musim 2009-1010. Dengan prestasi tersebut, klub ini siap menoreh lembaran sejarah baru di Liga Primer Indonesia.
Stadion: Letjen Haji Sudirman, Bojonegoro (kapasitas 15.000)
Pelatih: Sartono Anwar

16. PS Makassar
Klub ini merupakan hasil merger dari PSM dengan Makassar City. Berbekal pengalaman di sepak bola nasional, PS Makassar adalah salah satu tim yang memiliki potensi besar di Liga Primer Indonesia.
Stadion: Gelora Andi Mattalata, Makassar (15.000)
Pelatih: Wilhelmus Wim Rijsberger (Belanda)

17. Real Mataram
Gairah sepak bola Yogyakarta kembali bersinar dengan hadirnya klub Real Mataram. Nama Real Mataram akan mewakili semangat dan kekuatan Kerajaan Mataram yang mendapat dukungan besar dari masyarakat Yogyakarta. Berbekal pemain-pemain berpengalaman, klub ini merupakan salah satu yang terkuat.
Stadion: Maguwoharjo, Yogyakarta (kapasitas 30.000)
Pelatih: Jose Basualdo (Argentina)

18. Semarang United
Klub yang berbasis di Semarang, Jawa Tengah, ini sengaja disiapkan khusus untuk mengikuti Liga Primer Indonesia. Klub yang digagas oleh Novel Al Bakrie ini mendapat dukungan luas dari masyarakat sepak bola Kota Semarang. Semarang United akan menjadi salah satu klub yang paling disegani di kancah Liga Primer Indonesia.
Stadion: Jatidiri, Semarang (kapasitas 25.000)
Pelatih: Edy Paryono (Indonesia)

19. Tangerang Wolves
Semangat pendukung sepak bola di Tangerang tidak dapat diragukan lagi. Keberadaan Tangerang United di kota industri ini diharapkan dapat meningkatkan geliat dan semangat persepakbolaan lokal. Dipimpin oleh pelatih yang jeli akan bakat-bakat muda, klub ini yakin dapat memperoleh tempat tersendiri di hati para pecinta sepak bola Indonesia.
Stadion: Benteng (kapasitas 25.000) 
Pelatih: Paulo Camargo (Brasil)
***

06 Januari 2011

Perseteruan PSSI vs LPI : Sebuah Bencana Sepakbola Nasional

Sepakbola nasional, sepertinya tak pernah berhenti “membuat berita” di negeri ini. Boro-boro berita yang membuat pecinta sepakbola senang (baca: tim nasional mendulang prestasi), yang ada justeru berita carut marutnya organisasi sepakbola nasional (PSSI). Bukan hanya aroma politisasi timnas di Piala AFF akhir tahun lalu yang terus berkepanjangan, tetapi juga perseteruannya dengan Liga Primer Indonesia (LPI) yang makin meruncing.

Agak malas juga untuk menulis -- apalagi mengulas -- topik ini. Tapi, sebuah tulisan di Kompas cetak edisi Kamis, 6 Januari 2011 dengan Judul “KISRUH LPI: Bencana Sepak Bola Nasional” yang ditulis oleh wartawan senior Anton Sanjoyo, nampaknya bisa membuka mata penikmat sepakbola nasional (sekaligus jajaran pengurus otoritas sepakbola nasional), apa yang akan terjadi jika konflik ini terus dibiarkan tanpa ada penyelesaian. Berikut tulisan lengkapnya:
-------------------------------------

Seperti Tragedi Heysel pada Mei 1985, kira-kira begitulah wajah sepak bola nasional kita saat ini. Di Stadion Heysel, Brussels, Belgia, pesta sepak bola final Piala Champions berubah menjadi bencana saat 39 penonton tewas, 32 di antaranya pendukung Juventus, setelah bentrok dengan pendukung Liverpool. Kebanyakan pendukung Juventus tewas setelah tembok pembatas roboh menimpa mereka selepas aksi agresif hooligan Liverpool yang memang terkenal sangat beringas.

Kini ”bencana” yang sama menerpa persepakbolaan nasional Indonesia. Saat bangsa ini dilanda euforia sepak bola berkat penampilan elok tim ”Garuda Merah-Putih” pada Piala AFF, kegembiraan itu dirampas oleh arogansi dan politisasi para pengurus sepak bola. Tragedi belum juga usai karena selepas turnamen, momentum hebat euforia sepak bola nasional kembali terbuang percuma saat Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) menghabiskan energinya untuk berseteru dengan pengelola Liga Primer Indonesia (LPI). Sepertinya, insan-insan sepak bola yang gagah mengaku sebagai pembina kembali melakukan kebodohan yang sama, seperti ketika kita kehilangan momentum besar kebangkitan sepak bola pada Piala Asia 2007.

Sungguh tidak dapat diterima, justru pengurus sepak bola nasionallah yang membuat penampilan hebat Firman Utina dan kawan-kawan menjadi antiklimaks dan tumbang oleh keperkasaan Malaysia yang pernah ditekuk 1-5 pada babak penyisihan grup. Dukungan menggebu penonton yang sebenarnya telah teraniaya oleh buruknya administrasi distribusi tiket, seperti disia-siakan oleh ambisi para politikus di PSSI yang mendompleng kehebatan pasukan ”Garuda”. Tim asuhan Alfred Riedl ini dimobilisasi sowan ke rumah Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie, kemudian diboyong ke sebuah pondok pesantren yang sungguh membuat persiapan Riedl menjadi berantakan.

Riedl, yang sejatinya pelatih bertangan dingin, yang mampu menyulap tim ”Garuda” menjadi sebuah skuad yang penuh gairah dan disiplin, sempat mengungkapkan kekesalannya itu kepada media saat jumpa pers di Bukit Jalil, Malaysia. ”Federasi (PSSI) mengganggu persiapan tim saya dengan hal-hal yang tidak penting dan tak berkaitan dengan sepak bola,” ujar pelatih asal Austria itu.

Keluhan Riedl tersebut sangat dimengerti mengingat pelatih yang pernah menangani Vietnam dan Laos itu memang sangat disiplin, keras, bahkan cenderung kaku. Ketua Umum PSSI Nurdin Halid pun mengaku pernah ”diusir” Riedl dalam sebuah pertemuan teknis menjelang Piala AFF. Riedl pun pernah berseteru dengan manajer timnas, Andi Darussalam Tabussala, karena masalah tertib organisasi. Sayangnya, sepulang dari Bukit Jalil, Riedl tiba-tiba meralat ucapannya.

Inilah bencana pertama bagi persepakbolaan nasional. Kekuatan utama Riedl adalah pada disiplin dan ”kekakuannya” menjaga Firman dan kawan-kawan. Pada suatu titik, Riedl rupanya sudah tidak tahan menahan beragam kepentingan politik yang diboncengkan kepada timnya. Ia mulai menyerah saat Firman cs dibawa ke rumah keluarga Bakrie. Selanjutnya, kita semua tahu, tim ”Garuda” gagal meraih impian lama merebut gelar juara.

Namun, bukan kegagalan meraih juara yang benar sebuah bencana. Tragedi sesungguhnya adalah perubahan sikap Riedl. Ralatnya terhadap ucapannya sendiri di Bukit Jalil menunjukkan, ia menyerah kepada politisi PSSI. Jika ia menyerah, artinya ia membuka pintu selebar-lebarnya pada intervensi-intervensi selanjutnya. Jika benar ini terjadi—dan semoga saja tidak—tidak ada lagi yang bisa kita harapkan dari mantan ujung tombak timnas Austria itu.

Tak lama setelah bencana Riedl, sepak bola Indonesia kembali mengalami masa-masa kelam akibat perseteruan antara PSSI dan pengelola LPI. Sebagai bentuk ketidakpuasan terhadap kinerja PSSI—yang selama delapan tahun masa kepengurusan Nurdin Halid tidak menghasilkan prestasi di tingkat internasional—kompetisi yang digagas oleh pengusaha Arifin Panigoro seharusnya disikapi wajar-wajar saja, tanpa perlu memberi muatan-muatan politik, apalagi syak wasangka picik.

Sebagai kompetisi yang dicita-citakan menjadi profesional dan bersih, seharusnya LPI diberi kesempatan untuk membuktikan dirinya tanpa harus diganggu, apalagi diancam-ancam. Sikap PSSI yang berkeras dengan menyatakan LPI sebagai kompetisi ilegal dan harus dilarang justru semakin menunjukkan arogansi organisasi olahraga tertua di Indonesia tersebut.

Jika PSSI bertindak lebih arif dengan memberikan ruang kepada LPI untuk duduk bersama demi kebangkitan sepak bola nasional, tampaknya kita bisa menghindarkan diri dari lanjutan bencana sepak bola. Kalaupun PSSI tidak sepakat, tidak perlu pula membuang energinya dengan sikap konfrontatif yang akan merugikan sepak bola itu sendiri.

Jauh lebih bermanfaat jika PSSI justru menyalurkan energinya untuk membenahi mutu kompetisi Liga Super Indonesia yang meski sudah teratur dan makin besar kapitalisasinya, belum juga menghasilkan tim nasional yang berprestasi. Mutu kompetisi, antara lain, bisa diangkat dengan menaikkan mutu pelatih dan wasit. Jika PSSI benar-benar mau bekerja keras, kita tidak lagi bicara pada level Asia Tenggara atau Piala AFF yang masih berada di ”tingkat kecamatan” dalam tata pergaulan sepak bola internasional. Dengan jutaan bakat yang tersebar di seluruh Nusantara, Indonesia seharusnya sudah berbicara di tingkat elite Asia dan lawan-lawan kita bukan lagi Malaysia atau Thailand, melainkan Jepang, Korea Selatan, atau Australia.

Syaratnya, PSSI harus mulai bertindak menggulirkan kompetisi berjenjang dan benar-benar bekerja untuk pembinaan usia dini. Bakat-bakat istimewa yang dipunyai Okto Maniani, Yongki Ariwibowo, atau Arif Suyono seharusnya sudah berada di tingkat elite Asia, bukan klub lokal, jika mereka terbina dalam kompetisi bermutu sejak berusia 10-12 tahun.

Bola kini berada di tangan para petinggi PSSI, apakah akan memilih terus berkonfrontasi atau mengambil langkah bijak menyelesaikan baik-baik masalahnya dengan LPI. Jika langkah pertama yang dipilih, bersiaplah menghadapi bencana sepak bola nasional. Terserah.
***
Sumber foto: Kompas Online

26 Desember 2010

Memang Benar, (Kata Media Malaysia) Tim Nasional Kita “Jaguh Kampung” !

Setelah menyimak kekalahan tim nasional Indonesia dengan telak, 0-3 dari Malaysia semalam, rasa penasaranku yang pertama muncul adalah bagaimana media massa di kedua negara menyikapi hasil pertandingan ini. Karena, saat Malaysia dibantai tim Garuda 5-1 silam – seperti yang aku tulis di blog ini – sikap media massa Malaysia ternyata lebih bijaksana dibanding ke-lebay-an hampir seluruh media yang ada di negeri ini, baik cetak, online maupun televisi.

Dan benar, berbagai alasan diluar nalar (non-teknis?) bermunculan, mulai dari banyaknya seremonial yang dilakukan timnas dengan salah satu partai politik, wawancara media massa yang tidak mengenal waktu, sampai gangguan sinar laser yang nyatanya hanya ditujukan pada kiper Markus Haris Maulana seorang. Sedang faktor teknis, seperti psikologi pemain yang baru pertama bermain di kandang lawan, strategi pola permainan, dan beban mental pemain karena ekspektasi tinggi penggila bola tanah air sama sekali tidak disinggung.

Bandingkan dengan media di negeri Jiran, yang rata-rata menyebut kekalahan Indonesia karena termakan oleh ‘kesombongannya’ sendiri, yang merasa paling jago di kawasan Asia Tenggara. Meski kenyataannya, tim nasional Indonesia adalah ‘jago kandang’ karena hanya bisa menang di kandang sendiri, tetapi bernyali kecil di kandang lawan.

It’s okay.., kenyataannya memang begitu. Sepakbola Indonesia memang belum masuk tahap ‘super’ untuk kawasan Asia Tenggara, tetapi bahwa ada ‘peningkatan’ dalam sisi mentalitas, spirit dan skema bermain yang lebih terpola, itu juga patut diapresiasi.

Sebagai referensi untuk melihat seberapa jauh media massa Malaysia mewartakan kemenangan tim nasionalnya atas Indonesia, berikut petikan dari media Harian Kosmo dalam versi Kosmo! Online, yang diberi title Malaysia garang :

-----------------SKUAD bola sepak Indonesia sebenarnya tidaklah sekuat mana dan terbukti mereka memang layak digelar ‘jaguh kampung’. Keegoan Indonesia akhirnya memakan diri apabila Malaysia dengan mudah membelasah mereka 3-0 pada aksi perlawanan akhir pertama Kejohanan Bola Sepak Piala Suzuki AFF 2010 di Stadium Nasional, Bukit Jalil malam tadi.

Terikat 0-0 pada separuh masa pertama, Malaysia meledak tiga gol tersebut pada babak kedua menerusi Mohd. Safee Mohd. Sali pada minit ke-59 dan 71 serta pemain gantian, Mohammad Ashari Samsudin pada minit ke-67. Ia meletakkan Malaysia kini sebelah tangan untuk menjulang trofi Piala Suzuki AFF buat pertama kali sejak kejohanan ini diperkenalkan pada 1996.

Namun kejuaraan mutlak untuk edisi kelapan ini hanya akan ditentukan selepas berakhirnya final kedua di Stadium Utama Gelora Bung Karno, Jakarta Rabu ini.

Pada aksi malam tadi, suasana bingit oleh 75,000 penyokong Malaysia serta 15,000 penyokong Indonesia telah menghangatkan babak awal permainan. Namun pemain sayap kiri Indonesia, Oktovianus Maniani dan pemain sayap kanan Malaysia, Amirulhadi Zainal kempunan untuk beraksi pada final kedua nanti kerana memungut kad kuning kedua. Oktovianus dilayangkan kad kuning seawal minit kelima sebelum Amirulhadi menerima nasib sama pada penghujung babak pertama.

Kerancakan permainan terhenti pada minit ke-53 akibat gangguan sinaran laser terhadap penjaga gol Indonesia, Markus Harison Rihihina ketika Malaysia mendapat sepakan penjuru. Masa permainan berjalan selama enam minit tanpa aksi cemas tetapi tidak sampai seminit selepas ia bersambung semula, Malaysia berjaya memperoleh gol pertama.

Jaringan pada minit ke-59 itu terhasil setelah Norshahrul Idlan Talaha bijak membawa bola secara solo dari penjuru kanan melepasi Maman Abdulrahman dan melorongkannya untuk dirembat masuk oleh Safee. Hanya lapan minit kemudian, Malaysia terus selesa dengan gol kedua juga menerusi gerakan Norshahrul dari sebelah kanan tetapi kali ini lorongan cantiknya disudahkan pula dengan rembatan Ashari yang masuk menggantikan Amirulhadi. Malaysia terus mengukuhkan kedudukan apabila mem peroleh gol ketiga pada minit ke-71 menerusi tandukan cantik Safee hasil hantaran lintang S. Kunanlan dari sebelah kanan.

Ketika masa kecederaan selama lapan minit diberi, Malaysia sepatutnya dihadiahkan sepakan penalti setelah Kunanlan dijatuhkan Markus tetapi pengadil, Toma Masaaki dari Jepun sebaliknya memberikan sepakan gol buat Indonesia.

Indonesia sepatutnya menyalahkan diri sendiri atas kekalahan tersebut kerana mereka terlalu gemar untuk melakukan protes kononnya penjaga gol diganggu oleh pancaran laser. Yang peliknya, mereka akan melakukan protes setiap kali Malaysia mendapat sepakan percuma di hadapan pintu gol mereka.

Apa yang pasti, bukan pancaran laser yang menjadi penyebab kerana kesemua tiga gol Malaysia dihasilkan menerusi gerakan padang. Ia sekadar helah penjaga gol Indonesia untuk menyembunyikan gementarnya.

***
photo sources: Kosmo! Online





01 April 2010

Betapa Mencemaskan Kerusuhan Suporter Sepakbola Kita

Tiada hari tanpa berita “kerusuhan” di kancah sepakbola Indonesia. Begitulah yang aku perhatikan – baik dari media cetak, elektronik maupun internet – ketika mencoba mengikuti perkembangan olahraga rakyat ini. Kerusuhan, yang kalau dijabarkan lebih jauh lagi bisa berbentuk premanisme dan anarkis, yang terjadi di seluruh elemen persepakbolaan kita (pengurus, pemain, wasit, sampai suporter).

Tak perlu berteori panjang lebar untuk mencari simpul penyebabnya. Yang pasti, berbanding lurus dengan prestasi sepakbola nasional yang semakin terjun bebas ke titik paling bawah, pola pembinaan – dan organisasi – sepakbola Indonesia sudah keluar dari jalur kebenaran, alias salah!

Jangankan mengurus sistem pembinaan usia dini yang belum berjalan mulus, organisasi PSSI – sebagai induk organisasi sepakbola nasional – juga tidak konsisten dalam menjalankan roda organisasinya. Mulai dari sistem kompetisi yang selalu berubah, keputusan hukuman yang bisa diatur, tudingan wasit yang bisa “dibeli” sampai pengurusnya yang banyak tersangkut kasus pidana.

Yang semakin mengerikan, adalah perilaku suporter yang makin beringas dan tak terkendali. Membela klub kesayangannya dengan membabi buta – dan memaki serta intimidasi tim atau supporter lawan – adalah pemandangan “wajib” di beberapa stadion, baik untuk level Liga Indonesia maupun divisi yang lebih rendah.

Sebagai gambaran, berikut “Ulah” suporter sepakbola Indonesia di awal tahun 2010 ini, yang disarikan dari harian Kompas :

22 Januari 2010
Pihak terlibat: Suporter Persebaya dan pedagang kaki lima.
Perilaku: Ratusan supporter Persebaya menjarah pedagang kaki lima di sekitar Stasiun Wates dan Alun-alun Wates, Kulonprogo, Yogyakarta.

22 Januari 2010
Pihak terlibat: Suporter Persebaya dan wartawan foto Kantor Berita Antara.
Perilaku: Penganiayaan di Stasiun Purwosari, Solo, Jawa Tengah.
Akibat: Kepala Hasan Sakri Ghozali, seorang wartawan foto, bocor.

24 Januari 2010
Pihak terlibat: Massa dan suporter Persebaya.
Perilaku: Massa melempari kereta api Pasundan yang membawa supporter Persebaya Surabaya dari Bandung tujuan Surabaya di Stasiun Purwosari, Solo, Jawa Tengah.
Sanksi: Suporter Persebaya dilarang menonton laga tandang Persebaya selama 4 tahun, menjatuhkan denda Rp. 250 juta kepada Persebaya.

9 Februari 2010
Pertandingan: Persik Kediri dan Persib Bandung di Kediri, Jawa Timur.
Pihak terlibat: Suporter Persik.
Perilaku: Perkelahian saat pertandingan berlangsung.
Akibat: Seorang pendukung Persik tewas dan empat orang lainnya luka serius.
Sanksi: Persik bertanding tanpa penonton/suporter.

12 Februari 2010
Pertandingan: PSS Sleman dan PSIM Yogyakarta di Stadion Mandala Krida, Yogyakarta.
Pihak terlibat: Suporter PSS Sleman dan PSIM Yogyakarta.
Perilaku: Saling lempar botol dan batu serta saling ejek antar suporter.
Akibat: Lebih dari 60 penonton, sebagian besar supporter PSIM, terluka karena lontaran gas air mata, terjatuh, dan kena pukulan polisi. Seorang watawan juga menjadi korban pemukulan aparat.

14 Februari 2010
Pertandingan: Persebaya Surabaya dan Persib Bandung.
Pihak terlibat: Suporter Persebaya.
Perilaku: Melempari gerbang dan loket stadion serta menyanyikan lagu-lagu intimidatif.

3 Maret 2010
Pihak terlibat: Suporter Persitara
Perilaku: Melempar gundu ke mobil yang ditumpangi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Jalan Tol Wiyoto Wiyono, Jakarta.
Akibat: Polisi memeriksa 300 suporter Persitara dan menemukan senjata tajam, seperti celurit, botol-botol kosong bekas miniman keras dan minuman mineral berisi gundu, tongkat pemukul bisbol, tongkat kayu yang ujungnya berbentuk seperti palu, serta sebilah golok.

16 Maret 2010
Pertandingan: Persija dan Persipura.
Pihak terlibat: Suporter Persija.
Perilaku: Membawa 10 senjata tajam, seperti celurit, golok, pedang panjang yang biasa disebut katana, 16 gir bertali, dan ganja dibungkus rokok.
Akibat: 50 suporter dari Jakarta Timur, Bekasi, dan Depok diperiksa polisi, 37 orang diantaranya menjadi tersangka.
***
sumber foto: bola.kompas.com







27 April 2009

Suporter juga Harus Fair Play

“Arema bosok..!” begitu salah satu sms yang masuk ke hp-ku semalam, sekitar pukul 20.50 wib, beberapa saat setelah pertandingan Arema Malang melawan Persija Jakarta – yang disiarkan langsung oleh ANTV – berakhir. Yup, aku tersenyum getir membaca sms dari teman di Palangkaraya (Kalimantan Tengah) tersebut. Sebab, aku paham dengan karakteristik arek-arek Malang, dimanapun mereka berada, saat melapiaskan uneg-unegnya.

Kalau mereka menghujat Arema dengan sebutan “busuk” karena hanya mampu bermain imbang 2-2 dengan Persija, itu bukan berarti mereka benci dan mensyukuri Arema nggak bisa menang. Lebih dari itu, umpatan itu justeru bermakna rasa kesal dan geregetan pada tim kesayangannya karena belum bisa menunjukkan performa yang menjanjikan. Sebuah ciri khas dari para Aremania – sebutan pecinta dan suporter klub sepakbola Arema Malang – yang ceplas-ceplos tanpa bermaksud menyinggung orang lain.

Nah, yang menjadi masalah adalah salah satu sms dari teman di Sidoarjo – aku terima pukul 21.16 wib – yang tertulis: “Jancok, Arema niame kyok ngonceb, Sam. Peltih wajib ganti, arema kudu ukut pemain bringas, ati singo. Lek klah maneh yo obong ae stadione, menisan wis!”. (Terjemahannya: Jancuk [umpatan khas Malang], Arema mainnya seperti banci, Mas. Pelatih wajib diganti, Arema harus beli pemain beringas, berhati singa. Kalau kalah lagi ya bakar saja stadionnya. Sekalian sudah!

Waduh.., meski kalimat itu ditujukan sebagai (bagian) dari kecintaan pada Arema, tentu aromanya sudah berbeda. Unsur provokasi dan mengabaikan azas sportivitas nampak kental. Artinya begini, fanatik pada tim kesayangan sah-sah saja, membela tim idola sampai titik darah penghabisan juga hal yang bagus, tetapi unsur sportif perlu juga dijunjung tinggi. Bukan membabi buta. Sebab, kalah dan menang adalah hal wajar dalam sebuah pertandingan. Tim sekelas Manchester United ataupun Barcelona pun masih bisa “terpeleset” kalah dengan tim ayam sayur.

Kesimpulannya, disaat sepakbola nasional sudah babak belur – dengan sering melanggar aturan dan fair play yang selalu didengungkan FIFA – mestinya suporter sepakbola (dalam hal ini aku mengambil contoh Aremania, sebuah komunitas suporter yang aku ikuti) tidak perlu ikut-ikutan ngawur seperti PSSI. Menjadi suporter fanatik dan santun, adalah lebih elegan daripada suporter yang atraktif tapi anarkis. Sebab, suporter pun juga harus “bermain” fair play.

20 April 2009

Sudahlah, Buang Mimpi Piala Dunia 2022 Itu!

Sepakbola Indonesia, kalau mau jujur, memang sudah tidak ada sisi menariknya lagi. Coba, di negara yang penduduknya sudah ratusan juta ini, apa yang bisa dibanggakan dari olahraga (yang katanya) sudah merakyat? Tidak ada! Mulai dari prestasi, skill pemain, pengelolaan klub, sampai roda kompetisi yang masih saja amburadul, ditambah beberapa pengurus sepakbola nasional yang terkena kasus pidana.

Dengan kondisi “kritis” macam itu, lha koq tiba-tiba – tidak ada hujan tidak ada angin – mau mencalonkan diri jadi tuan rumah piala dunia sepakbola tahun 2022. Itu hitungannya dari mana? Bukannya meremehkan (bahkan aku 100% pesimis), menyelenggarakan piala dunia itu bukan sekedar menyiapkan stadion bertaraf internasional minimal 8 semata, tetapi juga perlu infrastruktur lainnya, seperti: lapangan udara bertaraf internasional, hotel berbintang yang bisa menampung puluhan ribu orang, sarana jalan dan transportasi yang qualified, sumberdaya manusia yang mampu jadi guide ratusan tamu dari mancanegara, dan tim nasional sepakbola yang tangguh tentunya.

Dalam kondisi negara yang kurang stabil macam sekarang ini – dan aku yakin 12 tahun mendatang tak banyak perubahan yang berarti – rasanya mustahil kalau PSSI minta pemerintah untuk membantu menyediakan dana sebesar 10 triliun (busyet dah, berapa tuh nol-nya !) seperti perhitungan PSSI selama ini. Yang lebih tidak masuk akal, mereka membandingkan dengan Mexico, Brasil dan Afrika Selatan yang ekonominya tidak lebih baik dari Indonesia saja bisa menjadi tuan rumah piala dunia.

Ya tentu saja negara-negara (berkembang) itu bisa, karena selain didukung pemerintahnya, tim nasional mereka juga sudah masuk level dunia, punya prestasi tinggi. Kalau Indonesia, jangankan juara Asia, untuk tingkat Asean saja masih kalau dengan Vietnam, Singapura dan Thailand. Ya mana mungkin dalam 12 tahun bisa “menciptakan” kesebelasan yang tangguh ; apalagi dengan (coba-coba) mengontrak Guus Hidink sebagai pelatih (yaeeelaah…, Guus Hidink 12 tahun lagi udah umur 80-an, sehebat apapun dia, dengan umur segitu udah nggak bisa teriak lagi dari pinggir lapangan deh, hehehe…).

Sudahlah.., nggak usah mempolitisir sepakbola Indonesia (yang sudah carut marut ini). Masyarakat juga tidak bodoh-bodoh amat dalam menilai seperti apa bobroknya sepakbola kita sekarang ini. Yang bikin miris, kenapa sampai Menpora dan Wakil Presiden pun – tanpa mempelajari segala aspek positif negatifnya – langsung ikut-ikutan ngotot mendukung Indonesia jadi tuan rumah piala dunia 2022? Apakah ada hubungannya dengan politik dan pemilihan umum? Ironis memang…!

16 Maret 2009

Sepakbola Indonesia, Mau Dibawa Kemana ?

Miris dan mengenaskan, itulah kata yang menurutku tepat untuk menggambarkan kondisi sepakbola nasional saat ini. Bukan saja masalah yang selalu “bersahabat” dengan para pengurus otoritas sepakbola negeri ini, tetapi roda kompetisi juga berantakan, meski sudah menyandang predikat – yang sepertinya terlalu berat – Liga Super Indonesia (Indonesian Super League).

Masalah pengurus PSSI yang banyak berhadapan dengan meja hijau, rasanya tidak perlu dibahas lagi (karena bisa seperti sinetron di televisi kita yang tidak pernah ada juntrungannya kapan akan berakhir). Mulai dari Ketua Umum sampai Bendahara bergiliran masuk penjara karena jerat korupsi. Ironisnya, tetap dipertahankan dengan alasan loyalitas dan harus dibedakan urusan politik dengan sepakbola. Bukan main !

Roda kompetisi? Setali tiga uang. Hampir tiap bulan ada penundaan pertandingan – baik di Liga Super, Divisi Utama maupun Divisi Satu – dengan alasan yang dibuat sedemikian rupa, agar masyarakat mau memaklumi. Padahal klub sudah kembang kempis cari dana talangan untuk bisa berkompetisi. Bahkan beberapa pengurus klub harus berurusan dengan pengadilan (dan KPK) karena coba-coba memainkan dana APBD.

Runyamnya, minggu ini beberapa Kepolisian Daerah (Polda) – sesuai instruksi Kapolri – melarang kegiatan sepakbola diadakan selama masa kampanye dan pelaksanaan pemilihan umum dilangsungkan. Dan belum lagi ada solusi ditemukan agar kompetisi tidak molor sampai akhir tahun, sebuah berita duka datang dari Bontang tentang meninggalnya Jumadi Abdi (pemain Bontang PKT) setelah seminggu lebih dirawat di rumah sakit.

Ya, Jumadi Abdi – pemain muda bertalenta yang punya daya jelajah tinggi dan pernah dipanggil ke tim nasional – meninggal karena pecah usus halus, setelah terkena tendangan kaki saat bertabrakan dengan pemain Persela Lamongan. Memang, body-charge dalam sepakbola adalah wajar, tetapi bentuk kewajaran di sepakbola Indonesia sudah kebablasan.

Sebab, hukuman kartu (kuning maupun merah) ataupun skorsing hanya sebatas formalistas. Entah apa alasannya, pengurus PSSI selalu menganulir dan memberi “grasi” pada pemain nakal di sepakbola Indonesia. Jadi, kebrutalan di lapangan menjadi hal yang wajar, toh kalau dihukum (pasti) nanti akan diampuni.

Jadi, harusnya jangan pemain dan penonton yang selalu jadi kambing hitam, sebab kalau ditarik benang merahnya, justeru Pengurus PSSI yang sebenarnya tidak mampu mengatur organisasinya sendiri. Keterlaluan !



AddThis Feed Button

14 Oktober 2008

Betapa Amburadulnya Sepakbola Indonesia Saat Ini

Luar biasa memang sepakbola Indonesia saat ini. Bukan.., bukan karena prestasinya tentunya. Tapi, carut marut yang terjadi di kepengurusan PSSI – karena Ketua Umum (Nurdin Halid) dan Bendahara Umum (Hamka Yandu) terlibat kasus korupsi dan sedang menjalani hukuman penjara – berimbas pada roda kompetisi yang sedang bergulir.

Simak saja berita sepakbola nasional yang terjadi dalam sebulan ini, baik yang terjadi di Indonesia Super League (ISL) maupun Divisi Utama, yaitu: penonton bentrok dengan aparat keamanan yang terlalu represif, kelompok suporter menyerang penonton lawan gara-gara saling ejek, pemain saling baku pukul di tengah lapangan, ada lagi manajer tim memukul wasit yang dinilai berat sebelah, dan yang lebih parah lagi ada wasit yang memberi bogem mentah pengurus klub sampai berdarah-darah karena takut dipukul duluan.

Itu tadi untuk urusan di kompetisi antar klub. Untuk tingkat tim nasional, lebih parah lagi. Yang paling hangat, Tim Nasional U-17 yang berlaga dalam kancah Piala Asia di Uzbekistan dijadikan bulan-bulanan tim nasional dari negara Korea Selatan (kalah 0-9), Suriah (kalah (1-2) dan India (kalah 0-1). Kalah dari Korea Selatan dan Suriah mungkin bisa dimaklumi, tetapi kalah dari India, sebuah negara yang masih tertinggal sepakbolanya? Sesuatu yang tidak masuk akal, sepertinya. Belum lagi tim nasional Putri yang sedang berlaga di Piala Asean (AFF) di Vietnam. Dua pertandingan awal sudah dibantai Vietnam 0-4, dan kalah dari Laos 0-1. Lagi-lagi dari sebuah negara yang baru mengenal sepakbola!

Kalau mau membuka “cacat” yang terjadi pada induk organisasi olahraga rakyat ini, tentu tak cukup untuk ditulis di halaman blog ini. Tetapi, untuk membenahi semua “kekacauan” yang ada tersebut, kuncinya cuma satu: membentuk kepengurusan PSSI yang baru. Bukannya apa, induk sepakbola internasional (FIFA) saja – lewat situs resminya – jelas-jelas tidak mengakui Nurdin Halid sebagai Ketua Umum PSSI, karena dianggap tidak sah saat pemilihan ketua (tidak sesuai AD/ART). Nah, bagaimana sepakbola Indonesia bisa berjalan lancar (dan maju) kalau induk organisasinya saja dipimpin oleh orang-orang bermasalah serta tidak diakui legitimasinya?


AddThis Feed Button

30 Juli 2008

Akibat Berbuat Rusuh, Bobotoh Persib Dihukum Tanpa Atribut

Inilah sebuah pemandangan yang akan terjadi mulai bulan Agustus 2008, di pentas Indonesia Super League (ISL) 2008. Yaitu, warna biru di seluruh sudut stadion yang selalu menghiasi pertandingan persib Bandung dipastikan tidak akan terlihat hingga berakhirnya Liga Super Indonesia – nama lain ISL – berakhir. Menyusul pelarangan yang dikeluarkan Komisi Disiplin (Komdis) PSSI agar “bobotoh” tidak memakai atribut “Maung Bandung” selama setahun.

Larangan ini dilakukan menyusul kerusuhan yang dilakukan suporter Persib saat menjamu Persija Jakarta di Stadion Siliwangi, Bandung (Minggu, 20/7/2008). Pendukung fanatik Persib tak menerima kekalahan timnya saat takluk dari Macan kemayoran 2-3. Mereka melempar botol dan batu ke dalam stadion ketika pertandingan masih berlangsung. Kerusuhan itu sempat membuat pasukan Danurwindo harus meninggalkan arena dengan panser sesuai pertandingan.

Selain atribut, suporter Persib tidak boleh menyanyikan lagu yang menjelekkan tim lawan. Menurut Ketua Komdis Hinca Panjaitan, mereka boleh masuk stadion asalkan tidak memakai atribut Persib, baik pakaian, syal atau yang lainnya. Kalau mau pakai batik malah tidak dilarang.

Tak hanya suporter yang mendapat hukuman, pihak panitia penyelenggara pertandingan juga mendapatkan denda sebesar 50 juta rupiah karena dianggap tidak mampu meredam kerusuhan pada akhir pekan itu. Beruntung, Persib masih boleh menggelar pertandingan di kandangnya, dengan catatan ijin keramaian dari Polda Jawa Barat juga diberikan.

Fakta lainnya, juga didapat Komdis dalam pertandingan tersebut. Yaitu pemain Persib, Hariono, di menit ke-79 tertangkap kamera melakukan penganiayaan terhadap skuad Persija, Robertino. Alhasil, pemain tengah Persib yang diambil pelatih Jaya hartono dari Deltras Sidoarjo itu mendapat hukuman tiga kali tidak boleh bertanding dan denda sebesar 50 juta rupiah sesuai peraturan Komdis Pasal 61 Ayat 2 tentang penganiayaan.

Setidaknya, gambaran diatas makin menunjukkan, bahwa itikad PSSI untuk memajukan sepakbola nasional selangkah ke depan, nampaknya hanya isapan jempol belaka. Nama kompetisi yang mentereng dan persyaratan muluk-muluk yang diterapkan pada klub peserta, nyatanya tak diimbangi dengan kesiapan elemen lainnya. Kalau sudah begini, apa lagi yang akan dijadikan alasan bagi PSSI?








AddThis Feed Button

21 Juli 2008

Indonesia Super League 2008, Apanya yang Super?

Dua hari menyempatkan nonton siaran langsung Indonesia Super League (ISL) 2008 – dengan sponsor tetap Djarum Super dan ditayangan langsung ANTV – dua pemandangan berbeda muncul bergantian di hari Sabtu dan Minggu. Bagaimana tidak, Liga Super Indonesia (begitu kalau di-Indonesia-kan) yang digembar gemborkan sebagai salah satu dari 8 liga sepakbola terbaik di Asia, nyatanya masih tak beranjak dari sistem liga Indonesia yang sudah-sudah, sama-sama kurang profesional.

Memang, awalnya saat laga Persijap Jepara versus AREMA Malang ditayangkang Sabtu sore (19 Juli), sebuah pemandangan menarik tersaji. Terutama dari tim Arema. Klub yang sejak berdiri di tahun 1987 murni dibiayai swasta (tanpa sepeserpun dibantu Pemda dengan APBD-nya) ternyata masih tetap konsisten dalam membina dan memajukan persepakbolaan nasional. Meski ditinggal pemain level nasional yang membela Arema musim kompetisi tahun lalu – seperti Ponaryo Astaman, Elie Aiboi, Ortizan Sollosa, Firman Utina, Hendro Kartiko, Erol FX Iba, dan juga pelatih Miroslav Janu – toh Arema semakin mantap memulai kompetisi dengan pasukan muda (Young Guns) di bawah asuhan pelatih Bambang Nurdiansyah. Buktinya, Persijap bisa dilibas 2-1.

Sekilas, apa yang dilakukan Arema adalah contoh bagaimana sebuah klub profesional harus dibentuk. Bermula dari sekumpulan pemain muda yang bertalenta, diramu dalam satu tim dengan menyisipkan satu dua pemain senior sebagai panutan, dan dibuat target realistis dalam 2 tahun harus juara. Bukannya seperti rata-rata tim “plat merah” yang dibentuk secara instan, dengan jor-joran membeli pemain jadi, pemain nasional dan juga pemain asing dengan harga milyaran, dengan target harus juara, tanpa pernah memikirkan bahwa (uang) itu adalah uang rakyat yang biasa disebut APBD. Ada unsur politis? Jelas hiya, sebab rata-rata ketua umum tim ex perserikatan adalah Walikota/Bupati. Jadi sudah dapat diduga, sepakbola (harus mau) dijadikan kendaraan politik, kalau mau dapat kucuran dana yang lancar.

Kembali ke ISL 2008, masyarakat sepakbola nasional lagi-lagi harus mengelus dada, ketika pertandingan minggu malam (20 Juli) – Persib Bandung versus Persija Jakarta – berakhir dengan kerusuhan. Suporter (atau oknum?) selalu ingin menjadi hakim yang paling berkuasa. Kalau tim-nya kalah, wasit menjadi sasaran kesalahan dan kemarahan. Kalau tim-nya tersungkur di kandang sendiri, stadion menjadi obyek yang layak dibakar dan dirusak. Dan ini terlihat saat Persib Bandung dipecundangi Persija Jakarta, 3-2. Betapa masyarakat kita (baca: suporter sepakbola) belum bisa dewasa dan menerima sebuah kekalahan.

Lantas, melihat dua contoh kasus diatas – sebuah klub swasta yang membangun landasan sepakbola profesional dengan benar & sebuah klub (ex) perserikatan yang tetap memakai sistem instan dalam pembinaan – apakah sudah waktunya kita punya liga sepakbola yang dinamakan: Indonesia Super League (ISL)? Apakah tidak sebaiknya “ditunda” sampai infrastruktur sepakbola di masing-masing klub benar-benar siap untuk memulai liga profesional yang sebenarnya? Atau, menunggu mendapatkan kepengurusan sepakbola (PSSI) yang berisi orang-orang “bersih” ?