27 April 2009

Suporter juga Harus Fair Play

“Arema bosok..!” begitu salah satu sms yang masuk ke hp-ku semalam, sekitar pukul 20.50 wib, beberapa saat setelah pertandingan Arema Malang melawan Persija Jakarta – yang disiarkan langsung oleh ANTV – berakhir. Yup, aku tersenyum getir membaca sms dari teman di Palangkaraya (Kalimantan Tengah) tersebut. Sebab, aku paham dengan karakteristik arek-arek Malang, dimanapun mereka berada, saat melapiaskan uneg-unegnya.

Kalau mereka menghujat Arema dengan sebutan “busuk” karena hanya mampu bermain imbang 2-2 dengan Persija, itu bukan berarti mereka benci dan mensyukuri Arema nggak bisa menang. Lebih dari itu, umpatan itu justeru bermakna rasa kesal dan geregetan pada tim kesayangannya karena belum bisa menunjukkan performa yang menjanjikan. Sebuah ciri khas dari para Aremania – sebutan pecinta dan suporter klub sepakbola Arema Malang – yang ceplas-ceplos tanpa bermaksud menyinggung orang lain.

Nah, yang menjadi masalah adalah salah satu sms dari teman di Sidoarjo – aku terima pukul 21.16 wib – yang tertulis: “Jancok, Arema niame kyok ngonceb, Sam. Peltih wajib ganti, arema kudu ukut pemain bringas, ati singo. Lek klah maneh yo obong ae stadione, menisan wis!”. (Terjemahannya: Jancuk [umpatan khas Malang], Arema mainnya seperti banci, Mas. Pelatih wajib diganti, Arema harus beli pemain beringas, berhati singa. Kalau kalah lagi ya bakar saja stadionnya. Sekalian sudah!

Waduh.., meski kalimat itu ditujukan sebagai (bagian) dari kecintaan pada Arema, tentu aromanya sudah berbeda. Unsur provokasi dan mengabaikan azas sportivitas nampak kental. Artinya begini, fanatik pada tim kesayangan sah-sah saja, membela tim idola sampai titik darah penghabisan juga hal yang bagus, tetapi unsur sportif perlu juga dijunjung tinggi. Bukan membabi buta. Sebab, kalah dan menang adalah hal wajar dalam sebuah pertandingan. Tim sekelas Manchester United ataupun Barcelona pun masih bisa “terpeleset” kalah dengan tim ayam sayur.

Kesimpulannya, disaat sepakbola nasional sudah babak belur – dengan sering melanggar aturan dan fair play yang selalu didengungkan FIFA – mestinya suporter sepakbola (dalam hal ini aku mengambil contoh Aremania, sebuah komunitas suporter yang aku ikuti) tidak perlu ikut-ikutan ngawur seperti PSSI. Menjadi suporter fanatik dan santun, adalah lebih elegan daripada suporter yang atraktif tapi anarkis. Sebab, suporter pun juga harus “bermain” fair play.