16 Maret 2009

Sepakbola Indonesia, Mau Dibawa Kemana ?

Miris dan mengenaskan, itulah kata yang menurutku tepat untuk menggambarkan kondisi sepakbola nasional saat ini. Bukan saja masalah yang selalu “bersahabat” dengan para pengurus otoritas sepakbola negeri ini, tetapi roda kompetisi juga berantakan, meski sudah menyandang predikat – yang sepertinya terlalu berat – Liga Super Indonesia (Indonesian Super League).

Masalah pengurus PSSI yang banyak berhadapan dengan meja hijau, rasanya tidak perlu dibahas lagi (karena bisa seperti sinetron di televisi kita yang tidak pernah ada juntrungannya kapan akan berakhir). Mulai dari Ketua Umum sampai Bendahara bergiliran masuk penjara karena jerat korupsi. Ironisnya, tetap dipertahankan dengan alasan loyalitas dan harus dibedakan urusan politik dengan sepakbola. Bukan main !

Roda kompetisi? Setali tiga uang. Hampir tiap bulan ada penundaan pertandingan – baik di Liga Super, Divisi Utama maupun Divisi Satu – dengan alasan yang dibuat sedemikian rupa, agar masyarakat mau memaklumi. Padahal klub sudah kembang kempis cari dana talangan untuk bisa berkompetisi. Bahkan beberapa pengurus klub harus berurusan dengan pengadilan (dan KPK) karena coba-coba memainkan dana APBD.

Runyamnya, minggu ini beberapa Kepolisian Daerah (Polda) – sesuai instruksi Kapolri – melarang kegiatan sepakbola diadakan selama masa kampanye dan pelaksanaan pemilihan umum dilangsungkan. Dan belum lagi ada solusi ditemukan agar kompetisi tidak molor sampai akhir tahun, sebuah berita duka datang dari Bontang tentang meninggalnya Jumadi Abdi (pemain Bontang PKT) setelah seminggu lebih dirawat di rumah sakit.

Ya, Jumadi Abdi – pemain muda bertalenta yang punya daya jelajah tinggi dan pernah dipanggil ke tim nasional – meninggal karena pecah usus halus, setelah terkena tendangan kaki saat bertabrakan dengan pemain Persela Lamongan. Memang, body-charge dalam sepakbola adalah wajar, tetapi bentuk kewajaran di sepakbola Indonesia sudah kebablasan.

Sebab, hukuman kartu (kuning maupun merah) ataupun skorsing hanya sebatas formalistas. Entah apa alasannya, pengurus PSSI selalu menganulir dan memberi “grasi” pada pemain nakal di sepakbola Indonesia. Jadi, kebrutalan di lapangan menjadi hal yang wajar, toh kalau dihukum (pasti) nanti akan diampuni.

Jadi, harusnya jangan pemain dan penonton yang selalu jadi kambing hitam, sebab kalau ditarik benang merahnya, justeru Pengurus PSSI yang sebenarnya tidak mampu mengatur organisasinya sendiri. Keterlaluan !



AddThis Feed Button