23 Maret 2009

Pemilu, Pesta yang Bikin Susah Masyarakat

Kampanye pemilihan umum (yang identik dengan pesta demokrasi) belum genap sepekan, tetapi sudut-sudut Jakarta – termasuk di tengah dan pinggir kota juga sih – sudah semakin semrawut saja. Tak hanya kemacetan yang menjadi-jadi, tetapi juga “keindahan” lingkungan menjadi obyek yang dirusak.

Masalah kemacetan – yang tidak ada
kampanye pun sudah menjadi pemandangan keseharian – dengan adanya pengerahan massa, konvoi dan raja jalanan (kapan lagi bisa ugal-ugalan di jalan raya secara kolektif, kalau bukan saat kampanye), rasanya sulit untuk bergerak di jalanan kota Jakarta.

Yang lebih parah, tidak tertibnya kontestan pemilu – baik
partai, caleg maupun DPD – dalam memasang, menempel dan menyebarkan materi kampanye mereka (ini bisa berupa baliho, poster, sticker, bendera, dan juga brosur). Lihat saja, mulai jalan protokol, pintu tol, pohon-pohon pelindung pinggir jalan, gedung dan sarana umum, sampai tembok warga masyarakat, tidak ada yang luput dari sasaran penempelan dan pemasangan.

Sebenarnya, aku tidak ambil pusing berapa miliar yang dikeluarkan ribuan caleg DPR tingkat pusat sampai kota/kabupaten (apalagi sampai memikirkan darimana uang itu berasal) untuk membuat berbagai atribut tersebut. Tetapi, mestinya, cara memasang dan menempel harus tetap beretika dan tidak melanggar tata aturan. Bukan malah membuat kesal.

Contoh konkritnya, tembok depan rumahku – begitu buka pagar rumah nih… – langsung disuguhi poster caleg (entah siapa dia, nomor berapa, partai apa, aku nggak merhatiin karena ndak ada untungnya). Itu baru buka pagar, belum lagi jalan seratus meter ke jalan utama, sudah nggak kehitung ratusan (atau ribuan) sticker sejenis, bendera partai, spanduk, umbul-umbul dan apapun namanya yang nemplok dipagar rumah warga dan pepohonan. Sungguh jorok !

Memang, ini pesta demokrasi lima tahunan. Tapi tidak harus semau gue, dan mengabaikan kepentingan (pribadi) masyarakat. Aku yakin, begitu masa kampanye selesai, para “penanggung jawab” partai ataupun caleg tak akan mau membersihkan dengan tuntas sisa hajatannya. Dan itu masih akan ditambah “kejorokan” lebih parah saat masa kampanye calon
presiden nanti. Padahal, sisa-sisa “kotor” saat pilkada Gubernur DKI tahun lalu masih belum hilang lho.

Inilah Indonesia. Namanya saja “pesta” tapi kenyataannya bukannya menyenangkan warga masyarakat, malah bikin susah. Mana terus-terusan lagi!

AddThis Feed Button