30 September 2008

Lebaran (di Kampung Halaman) Itu Indah

Alhamdulillah, akhirnya genap juga 30 hari menjalankan ibadah puasa Ramadhan. Tadi sore, buka puasa serasa makan siang saja. Hehehe.., bukannya apa, karena udah terlatih hampir sebulan puasa, jadinya haus dan lapar ndak begitu terasa. Apalagi 3 minggu pertama puasa aku jalani di Jakarta yang begitu panas, begitu masuk 1 minggu terakhir, aku menjalaninya di Malang, adeeem banget!

Dan (suasana) menyambut Lebaran menjadi begitu terasa, karena gema takbir tak putus-putusnya dikumandangkan mulai dari anak-anak, remaja, sampai orang dewasa secara bergiliran – disertai bunyi bedug dan tetabuhan dengan irama dinamis – dari mushollah yang berjarak hanya sekitar 6 meter dari rumah. Sebelumnya, setelah sholat Isya’ tadi, anak-anak dan remaja dari berbagai sekolah mengadakan pawai obor melewati jalan-jalan protokol. Sebuah suasana yang belum aku dapatkan selama hampir 15 tahun menjadi warga ibukota negara.

Bisa jadi, ini salah satu penyebab tradisi mudik (berdesak-desakan dan bermacet-macetan) masih terus terjadi di negeri ini, yaitu untuk mendapatkan “suasana” yang khas dan sudah mentradisi, yang tidak didapat di kota.

Jujur saja, dalam suasana seperti ini, aku seperti dibawa ke suasana masa kecilku dulu – sekitar 25 tahun silam – dimana setiap malam takbiran macam ini aku selalu ikut mobil (lebih tepatnya pick-up atau truk) terbuka untuk takbir keliling desa, bahkan kadang sampai keluar kota kabupaten. Maklum, jaman itu tidak ada larangan dan batasan, sehingga takbir kelilingpun bisa sampai keluar kota. Itupun pulangnya masih ditambah takbiran lagi di langgar (mushollah) sampai subuh, baru kemudian pulang sebentar sebelum berangkat lagi ke Masjid Jami’ untuk sholat Ied.

Yang aku rasakan saat ini, adalah bersyukur. Karena, meski suasana sudah sedikit berbeda – memang harus begitu, karena perkembangan jaman tidak boleh dihambat – ternyata putra-putriku masih bisa “menikmati” tradisi menyambut Lebaran khas kampung halaman orangtuanya. Setidaknya, anak-anak bisa memahami, bahwa sebuah kampung nyatanya masih punya tradisi yang bisa menumbuhkan rasa kebersamaan dengan sesama sekaligus menumbuhkan rasa keimanan yang “kurang” didapat di masyarakat perkotaan, dimana mereka lahir dan dibesarkan. Sungguh bangga ber-Lebaran di kampung!

AddThis Feed Button