18 Januari 2009

Susah Kalau Pengambil Kebijakan Tidak Pernah Naik Angkot !

Identik dengan judul yang aku tulis diatas, tulisanku kali ini adalah sebuah uneg-uneg dan kejengkelan pada para pengambilan keputusan di ibukota Jakarta. Apalagi kalau bukan masalah tarif angkutan umum, yang sampai hari ini tidak ada kepastian berapa penurunannya, selepas pemerintah menurunkan harga bahan bakar minyak (BBM) baik bensin maupun solar menjadi Rp. 4.500 per liter.

Bagaimana mungkin sebuah “Peraturan Daerah” mengenai tarif baru yang sudah jelas parameternya – harga BBM turun sampai 25% dari Rp. 6.000 menjadi Rp. 4.500 per liter – dibuat menjadi rumit, sehingga perlu beberapa kali rapat yang melibatkan DPRD, Dewan Transportasi Kota Jakarta (DTKJ), Dinas Perhubungan DKI dan juga Organisasi Angkutan Darat (Organda) DKI ?

Sebagai masyarakat awam, jelas kurang bisa menerima kinerja para pengambil kebijakan dan pelaksana lapangan di bidang tranportasi darat untuk wilayah DKI Jakarta. Contoh konkritnya, ketika BBM naik (katakanlah mulai tadi malam pukul 24.00 wib), maka pagi ini pun semua sarana angkutan umum – mulai dari angkot, metromini, bis kota sampai bajaj – serempak menaikkan tarifnya secara sepihak (meski Organda dan Pemerintah belum mengeluarkan pengumumkan kenaikan tarif).

Tetapi, ketika harga BBM turun, kenapa sarana angkutan umum tidak segera menurunkan tarifnya? Malah bisa-bisanya bilang kalau BBM hanya sepersekian persen dari elemen biaya pengoperasian angkutan umum. Sehingga (mereka mengatakan) penurunan BBM tidak berdampak signifikan pada tarif angkutan umum. Ini konyol dan membodohi masyarakat (yang sebenarnya tidak bodoh) !

Bahkan, Dinas Perhubungan, DTKJ dan Organda DKI sepakat hanya akan menurunkan tarif sebesar Rp. 200 sampai Rp. 400 saja, beda dengan usulan DPR yang menetapan besaran penurunan Rp. 500. Terus terang, turun Rp. 200 atau Rp 400 tidak akan ada manfaatnya, karena yang terjadi di lapangan adalah sama saja dengan tidak turun.

Lihat saja yang terjadi di lapangan, ongkos angkot yang Rp. 1.800 (untuk terdekat), tetap saja sopir minta Rp. 2.000 dengan alasan tidak ada kembalian receh Rp. 200 (anehnya kalau bayar pas Rp. 1.800, sopir juga marah). Sekarang mau diturunkan menjadi Rp. 1.600, pasti sopir tetap minta Rp. 2.000, atau turun menjadi Rp. 1.400 (pasti sopir akan minta Rp. 1.500). Tetap saja penumpang yang dirugikan kan?

Mestinya, dengan semakin sulitnya beredar uang recehan senilai Rp. 100 dan Rp 200, tetapkan saja tariff angkutan dengan selisih nominal Rp. 500, sehingga tarifnya menjadi Rp. 1.500, Rp. 2.000, Rp. 2.500 dan seterusnya. Atau, kalau masih tetap memakai tarif “aneh” tadi, instruksikan saja para sopir sedia permen, sehingga kekurangan uang kembalian bisa diganti permen seperti di supermarket. Tapi (sebaliknya) apakah kalau penumpang bayar ongkosnya kurang, sopirnya mau menerima permen sebagai gantinya?

AddThis Feed Button