23 Desember 2008

Halte Mini, Menghindar dari (Penguasaan) Lapak Pedagang

Ternyata, tanpa aku sadari, selama ini aku kurang begitu memperhatikan perkembangan yang terjadi di wilayah ibukota, yang sudah lebih dari 15 tahun aku “tumpangi” hidup. Contoh kecilnya, adalah masalah halte – untuk para penumpang – kendaraan umum, yang di 5 wilayah ibukota jumlahnya diperkirakan 1000-an. Setelah iseng-iseng aku perhatikan, bentuknya sudah banyak yang berubah.

Kalau halte yang (dulu) banyak bertebaran di pinggiran jalan, biasanya berukuran 10 x 3 meter, kini menjadi lebih ramping, yaitu cuma separohnya saja: 5 x 3 meter. Ukuran yang lebih kecil ini selain kelihatan lebih dinamis, juga menjadi praktis bagi masyarakat yang menunggu kedatangan kendaraan umum.

Praktis, sebab ukuran segitu hanya cukup untuk berdiri beberapa orang yang sedang menunggu kendaraan saja, dan tidak ada ruang bagi pedagang kaki lima untuk membuka lapak atau gerobak, seperti yang selama ini terlihat di setiap halte. Dan ruang publik ini menjadi lebih efektif, karena fungsinya menjadi sesuai dengan peruntukannya.

Tentu aku sepakat dengan keinginan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang berusaha untuk mengembalikan fungsi halte pada peruntukannya, bukannya disalahgunakan seperti selama ini. Lihat saja kenyataan yang ada di lapangan, halte lebih dikuasai lapak jualan pedagang kaki lima, dipakai tempat nongkrong dan tempat ngobrol, atau (yang lebih parah) menjadi tempat parkir dan berteduh para pengendara motor yang kehujanan, tanpa menghiraukan para pengguna halte yang sebenarnya.

Lebih bagus lagi, kalau secara kontinyu pemerintah provinsi – melalui instansi terkait: Sub Dinas Teknis Lalu Lintas Jalan, Dinas Perhubungan DKI – melakukan pengawasan terhadap semua halte yang ada. Maksudnya, jangan sampai halte yang sudah mini tersebut (kembali) dikuasai lapak para pedagang kaki lima. Kira-kira bisa enggak ya?


sumber foto: www.kontan.co.id



AddThis Feed Button