Tampilkan postingan dengan label KPK. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label KPK. Tampilkan semua postingan

01 Juni 2010

Partai Politik (juga) Tak Lepas dari Jerat Kasus Korupsi

Agak miris juga, ketika membaca hasil survei Barometer Korupsi Global Transparansi Indonesia, tentang mengguritanya korupsi di tubuh partai politik dan parlemen. Seperti dimuat pada harian Kompas, hasil survei lembaga itu selama empat tahun – yakni 2003, 2004, 2007, dan 2008 – menempatkan partai politik dan parlemen pada peringkat ketiga besar lembaga terkorup dalam persepsi publik di Indonesia.

Hasil survei tersebut tak jauh beda dengan data yang dilansir Transparency International, yang hasil survei tahun 2003 menempatkan partai politik pada posisi kedua sebagai lembaga terkorup di negeri ini setelah lembaga peradilan. Tahun 2004, partai politik dan parlemen menjadi lembaga terkorup pertama. Bahkan, pada tahun 2004 pula Transparency International mengumumkan sebanyak 36 dari total 62 negara sepakat menyatakan partai politik adalah lembaga terkorup.

Ironis memang, dalam era reformasi – yang selalu mengkambinghitamkan era orde baru sebagai masa “keemasan” korupsi – ternyata kasus korupsi justeru terus berkembang, yang dibuktikan dengan penangkapan sejumlah politisi dan pejabat publik yang diduga terlibat korupsi.

Apalagi sejak penegakan hukum korupsi, tidak lagi dimonopoli kejaksaan dan kepolisian – dengan adanya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dibentuk oleh Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi – maka makin banyak terkuak praktek-praktek korupsi yang dilakukan baik oleh pejabat publik maupun politisi di negeri ini.

Dari data yang dimuat pada harian Kompas pertengahan April 2010 misalnya, terpapar kasus-kasus politisi yang terjerat korupsi. Dan dari sejumlah kader parpol yang tak luput dari jerat korupsi (baca selengkapnya di bagian akhir tulisan ini), itu hanyalah sebagian kecil dari praktik korupsi yang dilakukan politisi. Berikut data & faktanya:

Sarjan Tahir
(Anggota DPR 2004-2009)
 Suap alih fungsi hutan mangrove untuk Pelabuhan Tanjung Api-api
 4,5 tahun pejara (PK Mahkamah Agung 17/11/2009)

Saleh Djasit
(Anggota DPR 2004-2009)
 Penyelewengan proyek pengadaan alat pemadam kebakaran di Provinsi Riau senilai Rp 15,2 miliar
 4 tahun penjara (PK Mahkamah Agung 2/6/2009)

Jarot Subiyantoro
(Ketua DPRD Kabupaten Sleman 1999-2004)
 Korupsi buku pelajaran senilai Rp 1,2 miliar
 5 tahun penjara (PN Sleman 12/3/2009)

Yusuf Erwin Faisal
(Anggota DPR 2004-2009)
 Suap terkait alih fungsi hutan mangrove untuk Pelabuhan Tanjung Api-api di Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan.
 4,5 tahun penjara (Pengadilan Tipikor 6/4/2009)

Al Amin Nasution
(Anggota DPR 2004-2009)
 Suap terkait pengalihan fungsi hutan lindung di Kabupaten Bintan.
 8 tahun penjara (Kasasi MA 16/9/2009)

Abdul Hadi Djamal
(Anggota DPR 2004-2009)
 Suap terkait proyek pembangunan bandara dan pelabuhan di kawasan timur Idonesia.
 3 tahun penjara (Pengadilan Tipikor 30/10/2009)

Bulyan Royan
(Anggota DPR 2004-2009)
 Suap terkait pembelian kapal patrol di Direktorat Jenderal Perhubungan Laut.
 6 tahun penjara (Pengadilan Tipikor 18/3/2009)

Hilman Indra
(Anggota DPR 2004-2009)
 Suap alih fungsi hutan mangrove untuk Pelabuhan Tanjung Api-api.
 Status tersangka, ditahan KPK (17/2/2010)

Misbakhun
(Anggota DPR 2009-214)
 Diduga memiliki “letter of credit” (LC) fiktif di Bank Century.
 Staf khusus Presiden Andi Arief melaporkan Misbakhun ke Polres Jakarta Pusat (1/3/2010)
***
sumber foto: stat.ks.kidsklik.com



11 Mei 2009

Seputar Kasus Antasari, Pilpres dan Pembodohan

Baca koran? Nonton televisi? Buka internet? Dengar radio? Coba, sebutkan 5 berita terheboh yang terjadi dalam 10 hari terakhir, yang terus “diumbar” media informasi tersebut. Benar, pasti tidak lepas dari : kasus Manohara, kasus Antasari Azhar, kasus koalisi partai menjelang pilpres, kasus kerja KPU yang amat lelet dan kasus-kasus yang sifatnya sensasional lainnya.

Lantas kemana berita tentang waralaba Mc. Donald’s yang akan diakuisisi Teh Sosro, BI Rate yang segera turun, flu babi yang mulai menyebar, gajah di Sumatera yang segera direlokasi, atau siswi SMP di Jakarta Timur meninggal karena over dosis dan tidak ada yang mau menolong? Bukankah itu juga berita penting dari dunia ekonomi, kesehatan, wisata dan juga sosial?

Jangan heran, inilah realitas pilihan penyajian berita era jurnalisme modern, yang memang menjadi sangat dilematis bagi industri media itu sendiri. Dalam salah satu tulisan di harian Suara Merdeka disebutkan, hukum pasar yang bertumpu pada diktum never ending circuit of capital accumulation mendorong media menyajikan informasi yang terbaik dan se-eksklusif mungkin bagi khalayak.

Walau, saat mereka berlomba-lomba menyajikan berita yang sensasional dan menggemparkan tentang suatu konflik tersebut, tanpa disertai banyak mempertimbangkan dampak buruknya bagi kemanusiaan dan sosial kemasyarakatan.

Karenanya, muncul jastifikasi bahwa realitas konflik merupakan menjadi salah-satu primadona pemberitaan. Bahkan, muncul pula ungkapan bahwa konflik adalah oase yang tak pernah kering bagi kerja jurnalistik. Sebab, konflik selalu menyajikan sensasi, magnitude, daya tarik yang sangat besar. Liputan konflik dapat secara signifikan menaikkan oplah, rating, dan leverage sebuah media.

Itulah sebabnya kalau yang muncul di pemberitaan – untuk kasus yang melibatkan Ketua KPK, Antasari Azhar – adalah sosok Rani Juliani, itu karena lebih “menjual” daripada memberitakan profil para eksekutor pembunuhan itu ataupun motif lain dari kasus penembakan itu sendiri. Demikian juga dengan “perselingkuhan” partai politik menuju pilpres 2009, tentu lebih menarik menggunjing pendekatan PD pada PDIP, daripada kriteria apa yang diperlukan seorang presiden Indonesia saat ini.

Sebuah ironi tentunya. karena semakin seru berita sensasi yang ditampilkan – dan masyarakat semakin tahu banyak – justeru bukan membuat masyarakat semakin pintar. Tetapi, lebih pada “pembodohan” terstruktur. Ndak percaya?