Tampilkan postingan dengan label KPU. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label KPU. Tampilkan semua postingan

11 Mei 2009

Seputar Kasus Antasari, Pilpres dan Pembodohan

Baca koran? Nonton televisi? Buka internet? Dengar radio? Coba, sebutkan 5 berita terheboh yang terjadi dalam 10 hari terakhir, yang terus “diumbar” media informasi tersebut. Benar, pasti tidak lepas dari : kasus Manohara, kasus Antasari Azhar, kasus koalisi partai menjelang pilpres, kasus kerja KPU yang amat lelet dan kasus-kasus yang sifatnya sensasional lainnya.

Lantas kemana berita tentang waralaba Mc. Donald’s yang akan diakuisisi Teh Sosro, BI Rate yang segera turun, flu babi yang mulai menyebar, gajah di Sumatera yang segera direlokasi, atau siswi SMP di Jakarta Timur meninggal karena over dosis dan tidak ada yang mau menolong? Bukankah itu juga berita penting dari dunia ekonomi, kesehatan, wisata dan juga sosial?

Jangan heran, inilah realitas pilihan penyajian berita era jurnalisme modern, yang memang menjadi sangat dilematis bagi industri media itu sendiri. Dalam salah satu tulisan di harian Suara Merdeka disebutkan, hukum pasar yang bertumpu pada diktum never ending circuit of capital accumulation mendorong media menyajikan informasi yang terbaik dan se-eksklusif mungkin bagi khalayak.

Walau, saat mereka berlomba-lomba menyajikan berita yang sensasional dan menggemparkan tentang suatu konflik tersebut, tanpa disertai banyak mempertimbangkan dampak buruknya bagi kemanusiaan dan sosial kemasyarakatan.

Karenanya, muncul jastifikasi bahwa realitas konflik merupakan menjadi salah-satu primadona pemberitaan. Bahkan, muncul pula ungkapan bahwa konflik adalah oase yang tak pernah kering bagi kerja jurnalistik. Sebab, konflik selalu menyajikan sensasi, magnitude, daya tarik yang sangat besar. Liputan konflik dapat secara signifikan menaikkan oplah, rating, dan leverage sebuah media.

Itulah sebabnya kalau yang muncul di pemberitaan – untuk kasus yang melibatkan Ketua KPK, Antasari Azhar – adalah sosok Rani Juliani, itu karena lebih “menjual” daripada memberitakan profil para eksekutor pembunuhan itu ataupun motif lain dari kasus penembakan itu sendiri. Demikian juga dengan “perselingkuhan” partai politik menuju pilpres 2009, tentu lebih menarik menggunjing pendekatan PD pada PDIP, daripada kriteria apa yang diperlukan seorang presiden Indonesia saat ini.

Sebuah ironi tentunya. karena semakin seru berita sensasi yang ditampilkan – dan masyarakat semakin tahu banyak – justeru bukan membuat masyarakat semakin pintar. Tetapi, lebih pada “pembodohan” terstruktur. Ndak percaya?

04 September 2008

Sebenarnya (Anggota) KPU Itu Maunya Apa Sih ?

Entah apa yang ada di pikiran anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) saat ini. Bukannya berusaha menyelesaikan banyaknya carut marut tahapan pelaksanaan Pemilu 2009 – seperti verifikasi calon anggota legislatif dan perbaikan Daftar Pemilih Sementara (DPS) – koq malah mau plesir ke luar negeri, dengan alasan untuk sosialisasi pemilu bagi WNI di luar negeri.

Jumlah kota yang dikunjungi juga nggak tanggung-tanggung, ada 14 kota (di 14 negara) -- yaitu: Kuala Lumpur, Beijing, Manila, New Delhi, Sydney, Cape Town, Kairo, Jeddah, Moskow, Den Haag, Paris, Madrid, New York dan Havana – yang dilaksanakan bulan September dan Oktober 2008.

Memang sih, di kota-kota tersebut banyak bermukim WNI, tapi apakah harus anggota KPU sendiri yang melakukan sosialisasi? Kan masih ada pejabat di Sekretariat Jenderal KPU, Staf Departemen Luar Negeri, atau (kalau mau murah) kan bisa mendelagasikan pada Staf KBRI kita di negara-negara tersebut?

Kalau menurutku, ini hal aneh dan terkesan kemaruk (bahasa Jawa, yang artinya kira-kira “mumpung jadi pejabat”). Apalagi di negeri kita ini sekarang lagi banyak disorot kinerja para pejabat – eksekutif maupun legislatif – yang kesannya lebih banyak menghambur-hamburkan uang rakyat.

Lihat saja, ada pejabat negara dinas ke luar negeri, langsung disorot. Juga, ada anggota DPR yang studi banding ke mancanegara, diberitakan besar-besar lebih banyak shopping daripada tujuan utamanya. Nah, anggota KPU yang berjumlah 7 orang ini ngapain pula “jalan-jalan ke luar negeri?”

Geregetan juga sih dengar berita televisi tadi pagi, yang nyata-nyata anggota KPU tak gentar dengan segala komentar, himbauan, bujukan, bahkan permohonan agar mengurungkan niatnya ke luar negeri, dari yang sangat santun penyampaiannya sampai terkesan kasar. Mereka merasa perlu untuk datang langsung ke negara-negara tersebut. Apa karena "mumpung" gratis?

Kalau sudah begini, ya apa boleh buat. Bisa jadi uang yang bernilai ratusan milyar – untuk pelaksanaan Pemilu 2009 yang bertahap-tahap itu – akan banyak mubadzir-nya. Gimana enggak, orang-orang yang dipercaya untuk mengurus saja sudah tidak mau mendengar masukan (dan seolah merasa dirinya paling benar). Dan nggak salah juga kalau untuk tingkat daerah pun, KPU banyak dikomplain atas kinerja dan putusan pilkada yang jauh dari harapan masyarakat. Ibarat pepatah, guru kencing berdiri murid kencing berlari.



AddThis Feed Button

09 Juli 2008

Pemilu 2009 diikuti 34 Partai Politik Nasional

Akhirnya satu tahapan pemilihan umum – penetapan partai politik peserta Pemilu 2009 – sudah diselesaikan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Malam hari Senin, 7 Juli 2008, bertempat di kantor KPU, Jakarta, Abdul Hafiz Anshary sebagai Ketua Komisi Pemilihan Umum membacakan Keputusan KPU tentang penetapan 34 partai politik nasional dan 6 partai politik lokal di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) sebagai peserta Pemilu 2009.

Didampingi 6 anggota KPU lainnya, Hafiz saat membacakan keputusan itu, juga dihadiri oleh Sekretaris Jenderal KPU Suripto Bambang Setyadi dan anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Wahidah Suaib. Menurut Hafiz, verifikasi faktual dilakukan terhadap 35 parpol oleh KPU Pusat, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota selama satu bulan terakhir, tetapi hanya 18 parpol yang memenuhi persyaratan sesuai dengan yang ditentukan oleh UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD.

Hal yang diverikasi meliputi susunan kepengurusan parpol tingkat pusat dan daerah, domisili dan alamat kantor sekretariat parpol tingkat pusat dan daerah, keterwakilan 30 persen perempuan dalam kepengurusan parpol tingkat pusat, dan jumlah keanggotaan parpol pada setiap tingkatan minimal 1.000 atau 1/1.000 dari jumlah penduduk.

KPU juga mengumumkan hasil verifikasi faktual yang dilakukan Komisi Independen Pemilihan Provinsi Nanggroe Aceh Darusssalam (NAD) terhadap 10 parpol lokal yang khusus mengikuti Pemilu 2009 di wilayah NAD. Dari ke-10 parpol lokal itu, hanya 6 parpol lokal yang lolos.

Jumlah parpol nasional peserta Pemilu 2009 ini lebih banyak dibandingkan dengan peserta Pemilu 2004, tetapi lebih sedikit dibandingkan dengan Pemilu 1999. Pemilu 2004 diikuti 24 parpol, sedangkan Pemilu 1999 diikuti 48 parpol.

Berikut Peserta PEMILU 2009 :

Lolos Sesuai Pasal 315 dan 316 UU No. 10/2008
1. Partai Keadilan Sejahtera (PKS)
2. Partai Demokrat (PD)
3. Partai Golkar
4. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP)
5. Partai Kebangkitan Bangsa (PKB)
6. Partai Amanat Nasional (PAN)
7. Partai Persatuan Pembangunan (PPP)
8. Partai Bintang Reformasi (PBR)
9. Partai Damai Sejahtera (PDS)
10. Partai Bulan Bintang (PBB)
11. Partai Persatuan Demokrasi Kebangsaan (PPDK)
12. Partai Penegak Demokrasi Indonesia (PPDI)
13. Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI)
14. Partai Pelopor (PP)
15. Partai Nasional Indonesia (PNI) Marhaenis
16. Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB)

Lolos Setelah Verifikasi Faktual
1. Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura)
2. Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra)
3. Partai Matahari Bangsa (PMB)
4. Partai Demokrasi Pembaruan (PDP)
5. Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU)
6. Partai Nasional Benteng Kerakyatan Indonesia (PNBKI)
7. Partai Persatuan Daerah (PPD)
8. Partai Barisan Nasional (PBN)
9. Partai Indonesia Sejahtera (PIS)
10. Partai Karya Perjuangan (PKP)
11. Partai Kedaulatan (PK)
12. Partai Patriot
13. Partai Peduli Rakyat Nasional (PPRN)
14. Partai Pemuda Indonesia (PPI)
15. Partai Pengusaha dan Pekerja Indonesia (PPPI)
16. Partai Perjuangan Indonesia Baru (PPIB)
17. Partai Kasih Demokrasi Indonesia (PKDI)
18. Partai Republik Nusantara (PRN)

Parpol Lokal di NAD Peserta Pemilu 2009
1. Partai Aceh
2. Partai Aceh Aman Sejahtera
3. Partai Bersatu Atjeh
4. Partai Daulat Atjeh
5. Partai Rakyat AcehPartai Suara Independen Rakyat Aceh



02 Juli 2008

Ada Apa Dengan Roy Suryo (AADRS)?

Untuk kesekian kalinya, minggu ini di salah satu milist yang aku ikuti, rame (lagi) membicarakan Roy Suryo – lengkapnya : KRMT Roy Suryo Notodiprojo, lahir di Yogyakarta, 18 Juli 1968 – yang lagi-lagi seputar ucapannya (yang dianggap) kontroversial dalam salah satu acara talkshow di salah satu televisi swasta.

Secara pribadi, aku tidak memperdulikannya. Adalah hal biasa terjadi pro dan kontra terhadap seseorang yang sudah dianggap public figure, entah karena perbuatannya, tingkah lakunya, ucapannya atau peristiwa yang ditimbulkannya. Nah, kebetulan Roy Suryo akhir-akhir ini “tersangkut” masalah dengan komunitas IT Indonesia (setidaknya, begitulah kelompok yang selama ini selalu menentang Roy Suryo menamakan dirinya). Dan panasnya pertentangan tersebut juga diungkap di Wikipedia Indonesia.

Aku sendiri, awal-awal Roy Suryo muncul di televisi dengan “ilmu fotografi”nya, sempat terkagum-kagum. Hampir setiap ada masalah foto asli atau palsu --apalagi melibatkan public figure-- pasti Roy muncul dengan argumen yang terdengar stereotype (atau, memang yang benar seperti itu ya? hehehe…). Belum lagi saat bersengketa sampai pengadilan dengan Bu Chusnul Mar’iyah (bener enggak ya? Yang seputar masalah IT KPU itu lho…), aku makin terkagum-kagum.

Tapi… (ada tapinya!), makin lama sering muncul di televisi, menurutku Roy Suryo koq makin arogan dan sok banget ya? Seolah-olah yang “pinter” soal IT di Indonesia hanya dia saja. Terus, di salah satu koran aku baca tulisannya, koq makin sombong saja. Masak sebuah acara kuis di televisi (seolah-olah) akan “hancur” kalo tidak menuruti saran dan pendapatnya. Wuuuiih…. dahsyaat man !! Untungnya, aku masuk milist yang banyak membahas IT di Indonesia, jadi dapat “membandingkan” seberapa jauh IT menurut Pak Roy Suryo -- yang mendapat sebutan Pakar Telematika -- dan perkembangan IT Indonesia yang sebenarnya.

Its okay.., kesimpulannya aku memang (akhirnya) kurang simpatik dengan Roy Suryo ini, titik. Dan tanpa bermaksud memperpanjang masalah pro dan kontra terhadap bapak ahli meneliti foto palsu apa asli ini, menarik juga untuk menyimak salah satu tulisan yang selalu muncul setiap kali topik Roy Suryo mencuat sebagai subyek, yang aku ambil dari milist detiknet berikut ini :
---------------
Udah lah.. yang pasti si RS itu :
(1). Dia BUKAN dosen UGM, yang benar adalah pengajar tamu di Program D-3 Komunikasi UGM, mengajar fotografi (itu pun saya duga hanya beberapa semester saja, sekarang saya cek ke sana sudah tidak dipasang ngajar lagi). Terminologi dosen tamu ini sangat umum di UGM, terutama di program D-3.
(2). Status kepegawaian KRMTRSN adalah PND/dosen di Institut Seni Indonesia Jurusan Seni Media Rekam, para koleganya di sana sudah menganggap dia "tidak ada" karena dia sangat tidak aktif di ISI. Bahkan dalam banyak publikasi ia seakan-akan "menyembunyikan" statusnya sebagai dosen ISI.
(3). Ia sempat sekolah di Program S-2 Fakultas Kedokteran UGM (kalau tidak salah program Promosi Kesehatan). Tidak pernah menyelesaikan studi S-2 ini. Ia masuk ke S-2 FK UGM hanya gara-gara sang ayah yang dosen di FK UGM. Tidak lebih.
(4). Sewaktu orang rame-ramenya menyoal masalah Y2K dulu, ia diminta oleh Bank BPD DIY untuk membenahi TI di sana, hasilnya nol-besar. Ternyata ia hanya bisa berkomentar di media, tetapi ketika diminta untuk terjun langsung secara praktek di lapangan hasilnya nol besar.
(5). Bila sedang menjadi pembicara seminar, dia paling sering minta soft copy kepada pembicara lain, hingga suatu saat dia mencomotnya untuk "dijual" ke seminar yang lain. Untuk itu, kepada para pakar yang kebetulan satu sesi dengan dia, jangan sekali-sekali memberikan soft copy materi presentasi Anda kepada dia, kalau tidak mau kecolongan.
(6). Di komunitas fotografer amatir Jogja (HISFA) ia sudah tidak dianggap lagi, bahkan sudah terlalu sering diumpat para anggotanya hanya gara-gara ucapannya di media yang sering kebablasan.
(7). Teman-teman sering menggunjingkan dia sebagai orang yang "menyibukkan diri", ia orang yang sangat hiperaktif mengirim press release, maklumlah karena tidak ada kesibukan lain. Katanya: bagi Roy membuat press release yang sensasional lebih mudah daripada membuat anak, hehehehe. Ia sudah menikah hampir 10 tahun, belum punya anak juga, hehehehe.
(8). KRMTRS memang pernah mendaftarkan diri untuk menjadi dosen Fisipol UGM. Kejadian ini kira-kira tahun 1991. Waktu itu Rektor UGM adalah Prof. Moch. Adnan, dan Dekan Fisipol (kalau tidak salah) masih Prof. Ichlasul Amal. Menurut teman-teman saya di Fisipol, salah satu kegagalan KRMTRS adalahkarena indeks prestasi (IP) yang tidak memenuhi syarat untuk jadi dosen UGM, hehehehe. Ini factual! Dalam rangka memenuhi keinginan menjadi PNS, maka mendaftarlah ia menjadi PNS di ISI yang waktu itu baru saja membuka program studi Seni Media Rekam. Masuklah ia ke sana.