Tampilkan postingan dengan label KPPU. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label KPPU. Tampilkan semua postingan

07 Juli 2008

Melakukan Kartel SMS, 6 Operator Seluler Kena Sanksi

Persaingan tidak sehat kembali membekap industri telekomunikasi Indonesia. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) pertengahan Juni 2008 lalu memvonis enam operator seluler terbukti melakukan kartel dalam menentukan tarif layanan pesan singkat atau short message services (SMS).

Gara-gara aksi komplot tersebut, tarif SMS sejak 2004 sampai 31 Maret 2008 menjadi mahal. Buntutnya, konsumen merugi hingga Rp. 2,8 triliun. Keenam perusahaan yang berkongsi itu, yakni PT. Telekomunikasi Seluler (Telkomsel), PT. Excelcomindo Pratama Tbk (XL), PT. Telkom Tbk (Flexi), PT. Bakrie Telecom Tbk (Esia), PT. Mobile-8 Telecom Tbk (Fren), dan PT. Smart Telecom (Smart).

Sebagai hukumannya, KPPU menjatuhkan denda yang nilainya bervariasi buat keenam operator seluler itu. Tapi, yang paling gede adalah Telkomsel dan XL, masing-masing kena denda Rp. 25 miliar. Ini lantaran kedua perusahaan tersebut dianggap sebagai pelopor kartel.

Sebetulnya, tarif yang wajar cuma Rp. 114 per SMS. Dengan harga segitu saja operator sudah untung. Tapi, kenyataannya, keenam perusahaan itu malah membanderol Rp. 250 – Rp. 350. Sehingga, menurut Ketua Majelis Komisi KPPU, Didie Martadisastra, bahwa mereka itu menikmati keuntungan hingga Rp. 133,89 triliun.

Melihat keputusan KPPU tersebut, keenam operator tadi jelas tak menerima. Itu sebabnya, sebagian dari mereka mantap mengajukan banding. Karena, menurut Rakhmat Djunaidi – Direktur Pelayanan Usaha Bakrie Telecom – mereka tidak terima karena pembelaan yang diajukan tidak dipertimbangkan majelis.

Walau masalah SMS belum ada aturan mainnya, tapi pemerintah menghormati keputusan wasit persaingan usaha ini. Soalnya, seperti diungkapkan Gatot Dewo Broto sebagai juru bicara Direktorat Jenderal Pos dan Telekomunikasi, menyebutkan bahwa dalam Undang Undang Telekomunikasi ada larangan melakukan persaingan tidak sehat. Nah, ini wewenang KPPU untuk menanganinya, bukan Direktorat Jenderal Pos dan Telekomunikasi. Jadi, klop sudah!





12 Mei 2008

Film AAC kesandung aturan KPPU

Lagi-lagi terjadi rebutan “kue” rejeki yang tidak merata di negeri kita. Bagaimana tidak gara-gara film Ayat Ayat Cinta (AAC) yang katanya meraup sukses besar – karena film garapan Hanung Bramantyo ini sudah disaksikan oleh 3 juta pasang mata – akhirnya harus melibatkan Komite Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Kabar tak sedapnya, KPPU mencurigai ada persaingan usaha tidak sehat dalam distribusi film tersebut.

Pasalnya, film tersebut hanya diputar di bioskop yang termasuk jaringan Cineplex 21. Sementara bioskop di luar itu, seperti Blitz Megaplex, tidak kebagian film. Dus, ada kecurigaan distributor film tersebut melakukan diskriminasi dengan hanya memberikan film ke Cineplex 21. Seperti diungkapkan Ahmad Junaedi (Direktur Komunikasi KPPU) di mingguan KONTAN, bahwa KPPU sedang mengumpulkan informasi untuk mengetahui apakah benar ada diskriminasi.

KPPU sendiri juga sudah memanggil Cineplex 21, Blitz Megaplex, serta pelaku industri film untuk dimintai penjelasan, bahkan pelaku industri itu sendiri sudah dipetakan. Lucunya, pihak Cineplex 21 yang diwakili Noorca M. Massardi (juru bicara Cineplex 21) menanggapi masalah diskriminasi ini justeru membantah keras kalau Cineplex melakukannya.

Dan Cineplex tidak mungkin melakukan monopoli, karena yang menguasai hak edar film itu adalah produsernya langsung, begitu kata Massardi. Jadi, produserlah yang mempunyai hak untuk menentukan tanggal dan tempat penayangan film yang dibuatnya.

Hasil akhir, KPPU sendiri masil belum mendapatkan hasil dari pengumpulkan informasi yang dilakukan, dan diharapkan awal Juni 2008 baru ada hasil. Mudah-mudahan janji ini tak sekedar “manis dibibir” semata, tetapi KPPU memang benar-benar membuat gebrakan terhadap monopoli pemutaran film yang sudah bertahun-tahun terjadi di Indonesia (dan gara-gara ini pula perfilman Indonesia mati suri dalam satu dekade punuh!).