21 April 2011

Benarkah Kartini Pejuang Emansipasi Wanita ?

Tanggal 21 april adalah hari bersejarah bagi perempuan. Sekitar 140 tahun yang lalu pada hari itu telah ada seorang perempuan yang memperjuangkan nasib perempuan dan mengangkat perempuan dari kungkungan kebodohan. Telah kita ketahui bahwa pejuang itu adalah R.A Kartini. Perjuangan Kartini sekarang tinggal sejarah. Sejarah adalah penggal waktu yang ditinggalkan. Sejarah, hanyalah saksi bisu yang bergantung pada kacamata manusia yang membacanya. Sejarah bisa berarti berbeda jika kacamata baca manusia juga berbeda.

Benarkah Kartini menginginkan kaum perempuan mengejar kesetaraan kedudukan dengan kaum laki-laki di segala bidang? Jangan-jangan kita bukannya menjadi penerus perjuangan kartini, tapi malah sebaliknya, menjadi pengkhianat Kartini. Momen April ini adalah saat paling tepat bagi kita untuk menganalisis kembali sejarah perjuangan Kartini secara obyektif.

Aktivis perempuan sudah menobatkan R.A. Kartini sebagai pejuang emansipasi. Beliau digambarkan sebagai sosok yang bersemangat memperjuangkan kaum perempuan agar mempunyai hak yang sama dan sejajar dengan kaum pria. Pada bulan April tokoh ini kembali diangkat sembari terus mendorong perempuan Indonesia untuk menempati posisi-posisi yang biasanya didominasi oleh pria. Bagai gayung bersambut, kaum perempuan Indonesia pun bergegas mencari peluang karir setinggi-tingginya, tanpa peduli harus mengorbankan keluarga maupun harga dirinya. Emansipasi telah bergeser kearah perjuangan gender dan ide – ide penentangan terhadap fitrah wanita yang memang berbeda dengan laki – laki.

Bahkan, momen peringatan Kartini juga dimanfaatkan oleh Kementrian Pemberdayaan Perempuan untuk menindak beberapa Perda (peraturan daerah) yang dipandang mendiskriminasikan perempuan (sampai sekarang ini diperkirakan ada 50 perda yang dianggap diskriminatif). Menteri Pemberdayaan Perempuan, Meutia Hatta Swasono, dan Dirjen HAM Departemen Hukum HAM Harkristuti Harkrisnowo, mengatakan bahwa pihaknya akan mendesak agar Perda itu dicabut karena kontradiktif dengan prinsip kesetaraan gender di segala sektor. Meutia mengatakan “Masa sekarang makin banyak perda yang tidak pro perempuan dan justru membatasi gerak perempuan” (Jawa pos,23 April 2007).

Kartini dengan Ketatnya Kungkungan Adat dan Pengaruh Kebebasan Barat

Kartini tumbuh dalam dua suasana dan pemikiran yang saling bertentangan satu dengan yang lain. Sebagai keturunan ningrat, dia dikungkung oleh adat istiadat yang ketat. Di sisi lain, karena keningratannya, memungkinkan dia memiliki teman-teman dari Belanda yang mengagungkan kebebasan. Dalam surat Kartini yang terhimpun dalam kumpulan surat-surat yang dibukukan dengan judul “Door Duisternis Tot Licht “ atau “ Habis Gelap Terbitlah Terang“, nampak bahwa jalinan persahabatan ini telah menyumbangkan sebuah pemikiran tersendiri bagi perkembangan pemikirannya. Di tengah kuatnya dominasi adat, Kartini berani berdiri untuk menentang semua adat itu. Kartini menentang adat Jawa yang membedakan manusia berdasarkan keturunan, sebaliknya dia memahami bahwa setiap manusia sederajat dan berhak mendapatkan perlakuan yang sama.

Kebencian terhadap adat yang diskriminatif ini mendorongnya untuk mengintip dan membandingkannya dengan nilai-nilai yang berlaku di Eropa dari teman-teman Belandanya. Ini dapat dilihat dari petikan suratnya: “Orang kebanyakan meniru kebiasaan orang baik – baik, orang baik-baik itu meniru kebiasaan orang yang lebih tinggi lagi, dan mereka itu meniru yang tertinggi pula ialah orang Eropa“ (Surat Kartini kepada Stella, 25 Mei 1899). Kartini menyimpulkan pangkal kemunduran dan rendah diri masyarakat saat itu adalah mundur dan minimnya pendidikan yang mereka rasakan. Kaum pribumi adalah kaum terbelakang dan bodoh. Pendidikan menjadi hak paten bagi kalangan ningrat dan para penjajah. Maka titik tolak perjuangan Kartini diawali dengan membenahi pendidikan di kalangan pribumi, tak terkecuali wanita. Kartini membuat tulisan yang berjudul “Berilah Pendidikan Kepada Bangsa Jawa“ kepada pemerintah kolonial yang berisi kritik dan saran kepada hampir semua Departemen Pemerintah Hindia Belanda.

Sulit bagi Kartini bertahan di lingkungan yang bertentangan dengan pemikirannya. Di tengah kuatnya kungkungan adat dan derasnya serangan pemikiran Barat, Kartini mencoba mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang bergolak di dalam pemikirannya. Tahun-tahun terakhir sebelum dia wafat, dia mencoba mendalami ajaran yang dianutnya, yaitu Islam. Pada awalnya ajaran Islam tidak mendapat tempat dalam benaknya dikarenakan pengalaman yang tak mengenakkan dengan ustadzah yang menolak menjelaskan makna ayat yang sedang diajarkan.

Namun pertemuannya dengan Kyai Haji Muhammad Sholeh bin Umar, seorang ulama besar dari Darat Semarang telah mengubah segalanya. Kartini tertarik pada terjemahan surat Al-Fatihah yang diajarkan Sang Kyai. Kartini mendesak pamannya untuk menemaninya bertemu dengan Sang Kyai. Maka mulailah Kartini mempelajari Islam dalam arti yang sesungguhnya. Namun sayang, tak lama setelah itu Kyai Darat meninggal sebelum sempat menyelesaikan terjemahan seluruh Al-Qur’an ke dalam bahasa Jawa. Andai saja Kartini sempat belajar keseluruhan agama Islam, bukan mustahil dia akan menerapkan semaksimal mungkin semua kandungan ajarannya. Kartini memiliki modal ketaatan yang tinggi terhadap ajaran Islam.

Distorsi Perjuangan Kartini

Upaya untuk menterjemahkan perjuangan Kartini oleh kaum perempuan Indonesia sekarang ini nampaknya telah terdistorsi. Petikan surat berikut ini menegaskan kesalahan penerjemahan tersebut: “Kami di sini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak perempuan, bukan sekali-kali karena kami menginginkan anak-anak perempuan itu menjadi saingan laki-laki dalam perjuangan hidupnya. Tapi karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannnya, kewajiban yang diserahkan alam sendiri ke dalam tangannya menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama.” (Surat Kartini kepada Prof. Anton & Nyonya Anton, 4 Maret 1902)

Dalam petikan surat tersebut, tak ada sepatah katapun yang mengajarkan wanita untuk mengejar persamaan hak, kewajiban, kedudukan dan peran agar sejajar dengan pria. Menurut Kartini, ilmu yang diperoleh para wanita melalui pendidikan ini bukanlah sebagai sarana untuk sekedar bersaing dengan laki-laki. Tapi lebih sebagai bekal mendidik anak-anak kelak agar menjadi generasi berkualitas. Bukankah anak yang dibesarkan dari ibu yang berpendidikan akan sangat berbeda kualitasnya dengan mereka yang dibesarkan secara asal? Inilah yang berusaha diperjuangkan Kartini saat itu.

Sungguh, ibu kita Kartini pasti menangis dengan teramat nelangsa apabila beliau tahu apa yang dilakukan perempuan-perempuan sekarang dengan mendompleng nama besar perjuangannya. Lihatlah wanita-wanita yang terserak di jalan-jalan dengan dandanan menor dan baju mini atas nama emansipasi. Mereka meninggalkan kewajiban serta fitrahnya sebagai wanita. Para perempuan itu enggan untuk menjadi ibu bagi anak-anaknya. Karena hamil hanya merusak bentuk tubuh indah mereka. Fungsi ibu sebagai pendidik utama juga telah tergantikan dengan keberadaan baby sister di rumah. Anak tumbuh besar dengan didampingi oleh orang lain dan miskin dekapan ibunya. Kehidupan dan karier diluar rumah jauh lebih menggiurkan daripada berkutat dengan anak di rumah.


Sementara mereka, para muslimah yang memilih setia manjadi ibu rumah tangga lebih banyak dicibir karena dianggap tidak produktif. Makna produktif di sini adalah segala sesuatu yang dapat menghasilkan uang dan dapat dinilai secara materi.

Kartini adalah sosok yang mengajak setiap perempuan memegang teguh ajaran agamanya, dan meninggalkan ide kebebasan yang menjauhkan perempuan dari fitrahnya. Kini jelas apa yang diperjuangkan aktivis gender dengan mendorong perempuan meraih kebebasan dan dan meninggalkan rumah tangganya bukanlah perjuangan Kartini. Sejarah Kartini telah disalahgunakan sesuai dengan kepentingan mereka. Muslimah telah dijauhkan dari Islam dengan dalih kebebasan, keadilan dan emansipasi wanita

Islam Memajukan Perempuan

Sejak diturunkan, risalah Islam telah menyelamatkan kaum perempuan dari rusaknya peradaban manusia yang tak menghargai kaum hawa. Membunuh anak perempuan karena rasa malu, menjadikan wanita sebagai barang warisan, memperlakukan wanita hanya sebagai pemuas nafsu laki-laki dan sasaran pelampiasan kekerasan,dll adalah budaya yang ada hampir di seluruh dunia sebelum Islam datang.

Islam menjaga perempuan dari upaya eksploitasi, baik tenaga maupun tubuhnya. Memang Islam tidak mengekang perempuan. Perempuan bebas berkiprah di ranah publik. Karena itu, Islam tetap mendorong kemajuan kaum perempuan tanpa mengekspolitasi sisi-sisi keperempuanannya. Mereka, misalnya, wajib menuntut ilmu sama halnya dengan kaum laki-laki. Mereka juga boleh pula mengaplikasikan ilmunya di berbagai lapangan kehidupan selama tidak membahayakan harkat dan martabatnya sebagai perempuan. Mereka bebas berkiprah di bidang apa saja yang mereka suka selama menjaga diri dan kehormatannya. Islam tidak melarang sama sekali. Hanya saja, peran utama sebagai perempuan yang kelak menjadi ibu dan pendidik anak-anak tetaplah yang paling utama.

Jadi, Muslimah saat ini harus kembali pada Islam, menjalankan tugasnya sebagai ibu dan istri sekaligus menyadarkan Muslimah yang lain agar cerdas dan kritis dalam menyikapi ide gender atau emansipasi wanita yang ternyata merendahkan martabat mereka, membahayakan generasinya serta menjauhkan agamanya. 
***


Penulis: Tresna Dewi Kharisma, Ketua Keputrian DKM UNPAD periode 2008/2009
Sumber: http://dakwahkampus.com