Tampilkan postingan dengan label SMA. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label SMA. Tampilkan semua postingan

05 Januari 2009

Masuk Sekolah Jam Setengah Tujuh? Baguuuus….

Hari ini – Senin, 5 Januari 2009 – ada yang sedikit berubah di wilayah Jakarta. Secara serentak, sekolah-sekolah dari tingkat SD sampai SMA di 5 wilayah DKI Jakarta mewajibkan siswanya masuk pukul 6.30 wib, maju 30 menit dari biasanya. Meski, sebenarnya sudah ada beberapa sekolah yang (jauh sebelumnya) sudah membuat aturan masuk jam setengah tujuh pagi.

Alasan bahwa aturan ini akan membuat kemacetan Jakarta sedikit berkurang – sampai 14% katanya – bisa jadi ada benarnya. Lha buktinya, tadi pagi saat aku jalan pagi rutin (olahraga jogging, maksudnya), biasanya kondisi jalan utama di sekitar tempat tinggalku agak lengang, tadi sekitar jam setengah enam sampai jam enam sudah penuh dengan para pelajar yang mau berangkat sekolah.

Sambil terus jogging, aku membayangkan, saat para karyawan (atau para pekerja kantoran) berangkat kerja jam setengah tujuh atau jam tujuh nanti, sudah tidak lagi berebut kendaraan – dan jalan – dengan para pelajar. Demikian juga saat pulang sekolah yang lebih cepat, pasti tidak akan berbenturan lagi dengan jam istirahat atau pulang kerja karyawan (terutama di wilayah pabrik yang memakai sistem kerja sift). Yup, masuk akal juga kalau aturan jam sekolah dimajukan bisa mengurangi kemacetan lalu lintas.

Dampak pada para pelajar? Ah, aku kira tidaklah banyak membawa dampak. Karena, seingatku dulu (saat aku masih berstatus pelajar, hehehe…) masuk sekolah juga jam setengah tujuh. Malah, karena aku sekolah SD sampai SMA di kota Malang, waktu berangkat sekolah yang pagi hari tersebut sering masih turun kabut selama di perjalanan (bukan kabut asap kendaraan seperti di Jakarta!).

Artinya, meski baru (serempak) diterapkan hari ini, aturan masuk sekolah lebih pagi, menurutku sangatlah baik. Pelajar jadi lebih fresh saat belajar, tidak capek berebut kendaraan dengan penumpang umum (bagi yang naik kendaraan umum), dan istirahat siang hari (di rumah) pun bisa lebih panjang. Setidaknya, ambil positifnya sajalah.., toh putriku saja yang masih SD tadi pagi ya enjoy saja saat berangkat lebih pagi.


AddThis Feed Button

25 April 2008

Jangan jadikan Ujian Nasional sebagai momok

Agak prihatin juga membaca berita tentang kecurangan yang terjadi di Ujian Nasional 22-24 April 2008, yang baru berlangsung. Kecurangan (lagi-lagi) bukan dilakukan oleh siswa didik peserta UN, tetapi justeru oleh para guru yang ingin membantu siswanya lolos dari “jeratan” soal-soal UN yang memang terstandar secara nasional.

Dari berbagai temuan kecurangan UN, yang cukup menyedihkan adalah digerebegnya 16 guru dan kepala sekolah SMA Negeri 2 Lubuk Pakam, Kabupaten Deli Serdang (Sumatera Utara) oleh Pasukan Anti Teror Densus 88 Polda Sumatera Utara. Para guru dikepung dan ditangkap di ruang UKS sekolah tersebut, saat sedang “memperbaiki” jawaban mata pelajaran Bahasa Inggris dari sekitar 284-an siswa didiknya. Lebih dramatis, pasukan Densus 88 melakukan penggerebegan disertai dengan suara letusan tembakan peringatan segala.

Alasan para guru tersebut memang terdengar sangat manusiawi, yaitu tidak tega dengan para siswanya yang hampir semuanya tak menulis jawaban di lembar ujian, karena memang tingkat kesulitan soal yang begitu tinggi, bahkan salah satu dari mereka mengatakan, “Mungkin siswa yang ada di Jakarta bisa dengan mudah mengerjakan soal itu, tapi kami yang jauh di daerah dengan sistim pengajaran yang masih tertinggal pasti akan sulit untuk mengerjakannya.” Alasan itu sepenuhnya benar, tetapi cara yang dilakukan tetap menyalahi aturan, dan harus diberi sangsi.

Ya, yang di Sumatera Utara saja mengeluh, bagaimana dengan yang di Papua ? Sulawesi Tenggara ? Nusa Tenggara Timur ? atau juga yang di Maluku Utara ? Pasti lebih tersiksa dengan UAN ini. Tetapi, Ujian Akhir Nasional adalah sebuah proses, yang tidak lahir secara tiba-tiba. Dan yang paling penting, pastinya bertujuan untuk meningkatkan dan menstandarkan mutu (lulusan) pendidikan di Indonesia. Mungkin, untuk tahun tahun awal masih muncul pro dan kontra, tetapi itu tentunya masih wajar.

Jadi, seperti yang dikatakan Mendiknas Bambang Sudibyo, “Kejujuran dalam mengerjakan UN lebih penting daripada mendapatkan nilai tinggi, tetapi tidak memiliki akhlak dan moral yang baik (dengan melakukan kecurangan),” sangatlah tepat. Karena pada hakekadnya – diakui atau tidak – soal soal UAN sudah sesuai dengan kisi-kisi mata pelajaran yang ada di seluruh daerah di Indonesia. Artinya, memang masalah kesenjangan kualitas guru dan sarana dan prasarana semata yang menjadi akar persoalan, yang tentunya sudah dipikirkan pemerintah untuk pemecahannya.

21 April 2008

Terbukti, Soal Ujian Nasional Terlalu Sulit

Tahun 2008 ini mungkin bakal banyak siswa yang tak lulus ujian nasional. Pengawas Independen Ujian Akhir Nasional menilai tingkat kesulitan soal ujian untuk tahun ini terlalu tinggi. Mereka menganggap soal-soal ujian tahun ini tak sebanding dengan kemampuan siswa. Seperti diungkapkan Komaruddin Hidayat, Ketua Panitia Pengawas Independen Ujian nasional, bahwa seharusnya ujian harus sejalan dengan pelajaran yang diberikan, kalau terlalu jauh akan membunuh siswa.

Pemerintah tak menampik bahwa materi ujian pada tahun ini lebih sulit ketimbang tahun-tahun sebelumnya. Tujuannya supaya kemampuan siswa Indonesia terus bertambah dari tahun ke tahun. Bahkan, Wakil Presiden Jusuf Kalla saat meninjau pelaksanaan ujian nasional di sejumlah SMA di Jakarta mengatakan, dengan tingkat kesulitan yang diatas rata-rata siswa kita bisa menyaingi Singapura dan Malaysia.

Secara keseluruhan, untuk pelaksanaan ujian nasional tahun ini, pemerintah mengaku puas meski banyak pelanggaran terjadi. Pemerintah justeru menganggap lebih baik daripada tahun lalu. Masih menurut Wakil Presiden Jusuf Kalla, pengawasan sudah dilakukan dengan cukup ketat, mulai dari proses pencetakan soal hingga pembagian soal di kelas.

Jadi, apapun hasilnya Ujian Akhir Nasional kali ini, ya “nikmati” saja. Toh pemerintah sudah mengajukan argument sendiri tentang banyaknya keluhan betapa sulitnya soal yang di-uji-kan. Jangan-jangan, karena beliau yang berkomentar di berbagai media selama ini (dulunya) belum merasakan susahnya jadi siswa seperti sekarang ini kali ya ?